1. A. Pengertian  dan Pengaturan Resi Gudang                                                                                Resi gudang adalah tanda terima yang diterbitkan oleh pemilik gudang yang diberikan sebagai tanda bukti kepemilikan barang yang dititipkan/diletakkan di dalam gudang kepada penitip/pemilik barang tersebut. Berdasarkan berbagai ciri-ciri yang melingkupi resi gudang, maka resi gudang dapat dikategorikan sebagai surat berharga. Pembagian resi gudang atas nama dan resi gudang atas perintah (Pasal 3 ayat (1) UU Resi Gudang) juga memperkuat pemikiran bahwa resi gudang adalah sejenis surat berharga. Definisi keduanya dapat dilihat pada Pasal 3 ayat (2) jo. ayat (3) UU Resi Gudang. Sebagai surat berharga, maka resi gudang dapat dialihkan, dijadikan jaminan utang, atau dokumen penyerahan barang (Pasal 4 ayat (1) UU Resi Gudang).                                                        Pasal 8 ayat (1) UU Resi Gudang mengatakan pengalihan resi gudang atas nama dilakukan dengan akta otentik. Sedangkan Pasal 8 ayat (2) menyatakan resi gudang atas perintah dilakukan dengan endosemen yang disertai penyerahan resi gudang. Resi gudang juga dapat diperdagangkan di bursa dan dijelaskan sifat hak jaminan resi gudang sebagai perjanjian berkarakter accesoir (Pasal 12 ayat 1 UU Resi Gudang).                                              (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17277/analisa-resi-gudang-sebagai-surat-berharga, Diakses pada tannggal 11 Mei 2011)                                                                                    Sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di Gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang. Dan sesuai dengan UU tersebut, Pusat Registrasi (dijalankan oleh PT. Kliring Berjangka Indonesia (Persero)/KBI) adalah lembaga yang ditunjuk untuk menyediakan seluruh sistem dan jaringan informasi untuk kebutuhan Sistem Resi Gudang.                                                                                                          Sistem Resi Gudang ini sendiri adalah sistem yang relatif baru, dan perlu beberapa waktu untuk dapat dipahami dan dijalankan dengan lancar. Saat ini KBI belum mempunyai aplikasi berbasis komputer yang dapat dipergunakan untuk menjalankan dan mengimplementasikan Sistem Resi Gudang. Dengan Sistem yang relatif baru, dan aplikasi yang belum ada, maka direncanakan akan dibangun Aplikasi Sistem Resi Gudang Tahap-1, yang merupakan tahap awal untuk menuju sistem dan aplikasi yang lebih sempurna.                                                                                                                              Aplikasi yang dikembangkan dalam tahap-1 ini hanya mencakup satu subset dari kebutuhan Sistem Resi Gudang secara menyeluruh. Aplikasi Sistem Resi Gudang tahap-1 ini mencakup proses penerbitan resi gudang, registrasi resi gudang, dan pembiayaan dengan jaminan resi gudang.                                                                                                                       Sub Sistem yang akan dibangun adalah: Sub Sistem Pembinaan & Pengawasan; Sub Sistem Penatausahaan Resi Gudang; Sub Sistem Pengelola Gudang; Sub Sistem Pembiayaan; Sub Sistem Penilaian Kesesuaian ; Sub Sistem Penyedia Referensi Harga.
    B. Manfaat Sistem Resi Gudang                                                                        Beberapa manfaat sistim resi gudang ini antara lain :
    1. Sistim resi gudang ini dapat memperkuat daya tawar-menawar petani serta menciptakan efisiensi di dunia agrobisnis , dimana petani bisa menunda penjualan komoditi setelah panen, sambil menunggu harga membaik kembali, dengan menyimpan hasil panen mereka di gudang-gudang tertentu yang memenuhi persyaratan.
    2. Resi gudang ini dapat digunakan bagi petani dalam membiayai proses penananam lahan dan juga bagi pabrikan dapat digunakan untuk membiayai persediaan bahan baku. Apabila terjadi cedera janji atas suatu kewajiban yang dijamin dengan resi gudang tersebut, misalnya pinjaman bank maka si pemegang resi gudang memiliki hak utama atas komoditas acuan atau nilai yang setara dengannya.
    3. Resi gudang dapat digunakan untuk mendapatkan dana dan sebagai aset acuan pada kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka yang ada sehingga meningkatkan nilai kompetisinya.
    4. Dapat dijadikan instrumen kontrak serah, yaitu apabila pada suatu transaksi terjadi kesepakatan untuk melakukan penyerahan barang pada suatu masa mendatang yang ditentukan maka resi gudang ini dapat dijadikan suatu bentuk kontrak serah yang penyerahan barangnya dilakukan dengan sistem yang diatur dalam kontrak berjangka.
    5. Memperkecil fluktuasi harga, dimana petani tidak perlu menjual barangnya segera setelah panen yang biasanya harganya sangat rendah (penjualan terpaksa). Dengan menahan barangnya beberapa waktu diharapkan harga menjadi lebih baik.
    6. Mengurangi risiko di pasar-pasar produk pertanian, memperbaiki sistem pengamanan pangan dan terbukanya akses kredit bagi pedesaaan.
    7. Mendorong memperbaiki mutu dan transparansi bagi industri pergudangan karena harus mematuhi peraturan tertentu dan dilakukan pengawasan.
    8. Mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah dalam perdagangan produk pertanian.
    9. Memperkecil kerugian setelah panen karena sistem penyimpanan yang baik.
    C. Bentuk Resi Gudang                                                                                                        Resi gudang dikenal dalam 2 bentuk yaitu :
    • Resi gudang yang dapat diperdagangkan ("negotiable warehouse receipt") yaitu suatu resi gudang yang memuat perintah penyerahan barang kepada siapa saja yang memegang resi gudang tersebut atau atas suatu perintah pihak tertentu.
    • Resi gudang yang tidak dapat diperdagangkan ("non-negotiable warehouse receipt") yaitu resi gudang yang memuat ketentuan bahwa barang yang dimaksud hanya dapat diserahkan kepada pihak yang namanya telah ditetapkan.
    D. Sistem Resi Gudang di Indonesia
    Di Indonesia, sistim resi gudang ini diatur oleh Undang-Undang nomor 9 tahun 2006 tentang sistem resi gudang, dimana definisi resi gudang menurut undang-undang tersebut adalah "dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang".                                                                         Derivatif resi gudang adalah turunan resi gudang yang dapat berupa kontrak berjangka resi gudang, opsi atas resi gudang, indeks atas resi gudang, surat berharga diskonto resi gudang, unit resi gudang, atau derivatif lainnya dari resi gudang sebagai instrumen keuangan. Derivatif Resi Gudang ini hanya dapat diterbitkan oleh bank, lembaga keuangan nonbank, dan pedagang berjangka yang telah mendapat persetujuan badan pengawas.                                                                                                                           Perdagangan resi gudang di Indonesia diatur oleh suatu badan yang disebut "Badan Pengawas Sistem Resi Gudang" yaitu suatu unit organisasi di bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan sistem resi gudang.                                                                                                      Resi gudang yang diperdagangkan di Indonesia wajib untuk melalui suatu proses penilaian yang dilakukan oleh suatu lembaga terakreditasi yang disebut "Lembaga Penilaian Kesesuaian" yang berkewajiban untuk melakukan serangkaian kegiatan guna menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu yang berkaitan dengan produk, proses, sistem, dan/atau personel terpenuhi.                                                                                        Sedangkan yang mendapatkan kewenangan guna melakukan penatausahaan resi gudang dan derivatif resi gudang di Indonesia yang meliputi pencatatan, penyimpanan, pemindahbukuan kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan, serta penyediaan sistem dan jaringan informasi adalah "Pusat Registrasi Resi Gudang" yang merupakan suatu badan usaha yang berbadan hukum.                                                                                   Sesuai ketentuan perundang-undangan maka resi gudang di Indonesia harus memuat sekurang-kurangnya:
    1. judul resi gudang;
    2. jenis resi gudang yaitu "resi gudang atas nama" atau "resi gudang atas perintah";
    3. nama dan alamat pihak pemilik barang;
    4. lokasi gudang tempat penyimpanan barang;
    5. tanggal penerbitan;
    6. nomor penerbitan;
    1. waktu jatuh tempo;
    2. deskripsi barang;
    3. biaya penyimpanan;
    4. tanda tangan pemilik barang dan pengelola gudang; dan
    5. nilai barang berdasarkan harga pasar pada saat barang dimasukkan ke dalam gudang.

    Pada 22 Juni 2007 pemerintah telah pula menerbitkan "Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2007 tentang resi gudang", untuk melaksanakan ketentuan dalam "Undang-Undang nomor 9 tahun 2006 tentang sistem resi gudang".                                                "Barang" yang dimaksud dalam undang-undang dan peraturan tersebut adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum dan paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai berikut: memiliki daya simpan paling sedikit 3 (tiga) bulan; memenuhi standar mutu tertentu; dan jumlah minimum barang yang disimpan.                                                                                      Pada tanggal 29 Juni 2007, telah diterbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 26/M-DAG/PER/6/2007 yang telah menetapkan delapan komoditi pertanian sebagai barang yang dapat disimpan di gudang dalam penyelenggaraan sistem resi gudang. Kedelapan komoditi itu adalah: Gabah, Beras, Kopi, Kakao, Lada, Karet, Rumput laut, Jagung.
    E. Negara-negara berkembang yang melaksanakan sistem resi gudang
    Berdasarkan data dari konferensi warehouse receipt system (WRS) di Amsterdam pada tanggal 9-11 Juli 2001 maka negara-negara berkembang yang tercatat cukup berhasil menerapkan sistim resi gudang ini adalah: : Rumania, Hungaria, Afrika Selatan, Zambia, Ghana, Rusia, Slovakia, Bulgaria, Cesnia, Polandia, Kazakstan, Turki, dan Mexico.
    F. Gudang dengan Sistim Resi Gudang
    Gudang percontohan sistim resi gudang (SRG) yang berkapasitas 3.000 ton dengan dilekapi 5 unit alat pengering telah diresmikan pada hari Kamis tanggal 30 Agustus 2007 oleh Titi Hendrawati, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) di Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. Gudang ini merupakan gudang pertama di Indonesia dengan sistim resi gudang                                           Gudang dengan SRG ini dikelola oleh PT Petindo Daya Mandiri dengan melibatkan Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Banyumas serta kelompok tani dari tiga kecamatan yaitu Rawalo, Purwojati, dan Jatilawang yang merupakan daerah penyangga bagi gudang tersebut.                                                                               Petani yang menyimpan berasnya di gudang SRG akan mendapatkan sebuah dokumen berharga sebagai bukti kepemilikan barang yang dititipkan tersebut, dimana dokumen tersebut dapat dijadikan agunan guna memperoleh kredit dari koperasi maupun dari bank.( http://id.wikipedia.org/wiki/Resi_gudang, diakses pada tanggal 9 Mei 2011)

    Daftar Pustaka
     http://id.wikipedia.org/wiki/Resi_gudang, diakses pada tanggal 9 Mei 2011
    http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17277/analisa-resi-gudang-sebagai-surat-berharga, Diakses pada tannggal 11 Mei 2011                                                            
    2

    Lihat komentar



  2. A. Kronologi Kasus
    Perselisihan PHK antara Adnan yang berkedudukan  sebagai penggugat yang merupakan sebelumnya karyawan yang menjabat sebagai kepala Body Repair  melawan Perusahaan CV. Putra Sultra Mandiri Kendari yang merupakan perusahaan jasa bengkel, dimana penggugat beranggapan bahwa Tergugat telah melakukan PHK secara sepihak oleh Tergugat dengan alasan bahwa Penggugat tidak bekerja secara profesional sering melakukan kesalahan fatal, meminta uang rokok kepada pelanggan bengkel, arogan dan sering mebuat onar dengan sesama karyawan  di bengkel  serta sering  menentukan biaya jasa bengkel di luar harga yang telah ditentukan oleh perusahaan. kemudian Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Perselisihan Industri Kendari, kemudian Pengadilan Perselisihan Industri memutuskan bahwa menyatakan menolak gugatan dari Penggugat, lalu Penggugat Mengajukan upaya kasasi. namun karena jangka waktu permohonan kasasi telah daluarsa maka penggugat tidak dapat mengajukan kasasi.  Setelah itu Tergugat juga melakukan permohonan kasasi  kepada Mahkamah Agung, dan dalam putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa Menolak permohonan Kasasi Penggugat (sebagai Pemohon Kasasi I) dan Tergugat (Pemohon Kasasi II). dengan pertimbangan bahwa hakim pengadilan hubungan Industrial Kendari tidak salah menerapkan hukum dan Alasan Permohonan kasasi ditolak karena Upaya hukum Kasasi hanya dapat ditempuh ketika berkenaan tentang pelaksanaan hukumnya saja.(Pertimbangan hakim sesuai dengan lampiran putusan)

    B. Analisa Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor  884 K/Pdt .Sus/2010
    Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkretisasi dan individulisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit.
    Sementara orang lebih  suka menggunakan ”pembentukan hukum” daripada ”penemuan hukum” oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.
    Ajaran tentang penemuan hukum ini menjawab pertanyaan mengenai interprestasi atau penafsiran undang-undang, interprestasi restriktif atau ekstensif, penyempitan hukum dan analogi.
    Pada dasarnya setiap orang melakukan penemuan hukum. Setiap orang selalu berhubungan dengan orang lain, hubungan mana diatur oleh hukum dan setiap orang akkan berusaha menemukan hukumnya untuk dirinya sendiri, yaitu kewajiban dan wewenang apakah yang dibebankan oleh hukum padanya.
    Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuwan hukumpun mengadakan penemuan. hanya kalau hasil penemuan hukum itu adalah hukum, maka hasil penemuan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum, namun di sini digunakan istilah penemuan hukum juga oleh karena doktrin ini kalau diikuti dan diambil-alih oleh hakim dalam putusannya, menjadi hukum. Doktrin bukanlah hukum melainkan sumber hukum.
    Dalam penemuan hukum ini dikenal adanya aliran progresif dan aliran konsevatif. Aliran progresif berpendapat bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan-perubahan sosial, sedangkan aliran konservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan itu hanyalah untuk mencegah kemrosotan moral dan nilai-nilai lain.
    Dalam penemuan hukum hakim dapat sepenuhnya tunduk pada undang-undang. Penemuan hukum ini terjadi berdasarkan peraturan-peraturan di luiar diri hakim. Pembentuk undang-undang membuat peraturan umumnya, sedangkan hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang. Denggan demikian maka penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-undang yang terjadi secara logis-terpaksa sebagai silogisme. [1]
    Dalam penemuan hukum terdapat beberapa aliran. Sebelum 1800 sebagian besar hukum adalah hukum kebiasaan  itu beraneka ragam dan kurang kepastian hukum. Keadaan ini menimbulkan gagasan untuk menyatukan hukum dan menuangkan dalam  sebuah kitab  undang-undang (codex), maka timbulah gerakan kodifikasi ini disertai timbullah aliran legisme, yaitu aliran dalam ilmu pengetahuan dan peradilan yang tidak mengakui hukum di luar undang-undang. Hukum dan undang-undang itu identik.
    Undang-undang ternyata tidak lengkap dan sering tidak jelas. Aliran legisme lama-lama ditinggalkan. Dari hakim diharapkan dapat menyesuaikan undang-undang dengan keadaan. Peradlan mempunyai peranan yang penting dan yurisprudensi makin bertambah kewibawaannya.
    Menurut pandangan Mahzab Historis maka undang-undang tidaklah lengkap. Di samping undang-undang masih ada sumber hukum lain, yaitu kebiasaan. menurut Von Savigny hukum itu berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar dari mana untuk setiap peristiwa dapat diterapkan kaedah yang cocok (Begriffsjurisprudenz). Hakim memang bebas dalam menerapkan undang-undang, tetapi ia tetap bergerak dalam sistem hukum yang tertutup.
    Dengan diadakannya kodifikasi di Jerman pada tahun 1990 timbullah pendapat bahwa tidak terdapat kekosongan-kekosongan atau kekurangan –kekurangan dalam undang-undang. Tetapi kemudian timbullah pendapat bahwa undang-undang itu tidak sempurna, banyak kekurangan-kekurangannya yang harus dilengkapi atau diisi oleh hakim. Dengan makin melepaskan diri dari sistem timbullah pandangan bahwa putusan-putusan itu tidak begitu saja berasal dari undang-undang maupun dari sistem asas-asas hukum atau pengertian hukum, tetapi ada unsur penilaian memegang peranan ( Freirechtbewegung) [2]
    Menurut pendapat saya Putusan Mahkamah Agung Nomor  884 K/Pdt .Sus/2010 atas permohonan kasasi yang dimohonkan oleh penggugat maupun Penggugat (kasus di atas) dalam pertimbangan hukumnya dan berdasarkan aliran-aliran penemuan hukum yang dikemukakan di atas, saya berpendapat bahwa Hakim Mahkamah Agung menganut aliran legisme, yaitu aliran dalam ilmu pengetahuan dan peradilan yang tidak mengakui hukum di luar undang-undang.
    Hakim Mahkamah Agung masih mengacu pada ketentuan undang-undang antara lain: Undang- Undang Mahkamah Agung RI (Undang- Undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana yang te lah diubah dengan Undang- Undang No.5 Tahun 2004) ; Undang- Undang 2 Tahun 2004, Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 dan Undang- Undang No. 14 Tahun 1985, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang- Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009 yang dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam memutus perkara tersebut. hal itu dapat dilihat dalam pertimbangang-pertimbangan hukumnya dalam putusan yang kasasi (Terlampir) dan tidak menggunakan dasar hukum di luar undang-undang seperti yang telah dikemukakan sebelumya.



    [1] Sudikno Mertokusumo, 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar . Yogyakarta: Liberty. halaman 162-164
    [2] Sudikno Mertokusumo, 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar . Yogyakarta: Liberty. halaman 167-168

    2

    Lihat komentar


    1. Latar Belakang Masalah

    Ketika mendengar kata-kata “Terorisme ataupun teroris”  semua orang pun akan merasa ngeri dan dibuatnya bulu kuduk merinding, begitu dahsyat akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan ini yaitu berupa kerusakan fisik, trauma yang mendalam bagi para korban, kehilangan harta benda bahkan bisa kehilangan nyawa serta tidak mudah mengembalikan ataupun memulihkan kerusakan yang telah terjadi.
    Tragedi bom di Sari Club dan Peddy’s Club Kuta Legian Bali 12 Oktober 2002, lalu kasus ledakan Bom di JW Marriot(5 Agustus 2003) yang menewaskan belasan orang dan luka-luka puluhan orang  juga makin membenarkan bahwa di samping persoalan terror itu tergolong sebagai ancaman serius bangsa dan dunia, juga di sisi lain dampaknya sangat terasa bagi kehidupan masyarakat. bahkan beberapa bulan terakhir aksi-aksi terror yang terjadi di Indonesia yaitu bom bunuh diri di mapolres Cirebon.
    Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
    Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia. Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
    Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill. [1]
    1. Perumusan Masalah
    Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang penulis paparkan di atas, serta agar permasalahan yang akan diteliti menjadi lebih jelas dan mencapai tujuan sebgaimana yang penulis harapkan, maka perlu adanya perumusan masalah. Adapun beberapa permasalahan yang akan penulis kaji dalam makalah ini, yaitu:
    1.      Bagaimana terorisme dalam perspektif Hukum Humaniter Internasional ?
    2.      Langkah-langkah politik/hukum apa saja yang diambil PBB dalam mengantisipasi Terorisme?

    1. Kajian Teori
    1.      Kajian mengenai Terorisme
    a. Pengertian Terorisme
    Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam, kiranya perlu dikaji terlebih dahulu pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa lembaga maupun beberapa penulis/pakar atau ahli yaitu:
    1)      US Central Inteligence Agency (CIA)
    Terorisme Internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing.
    2)      US Federal Buerau of Investigation (FBI)
    Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil elemen-elemen untuk mencapai tujuan social atau politik.
    3)      US Departements of State and Defense
    Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional berharap sasaran kelompok non-kombatan. Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wialayah lebih dari suatu negara
    4)      Black’s Law Dictionary
    Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Ameriak, atau negara bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk; (i) mengintimidasi penduduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.[2]
    Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.” Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.
    Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif, hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.[3]
    b. Karakteristik/cirri Terorisme
    Dalam sebuah laporannya yang diberi judul The Sociology and Psychology of Terorism: who become a Terorrist and why? Direvisi riset Federal (kongres AS) disebutkan ada lima ciri dari kelompok teroris, yakni: separatis-nasionalis, fundamentalis-religius, religius baru, revulusioner social dan teroris sayap kanan. Klasifikasi kelompok ini didasarkan pada asumsi bahwa kelompok-kelompok teroris dapat dikategorikan menurut latar belakang politik dan ideology.
    Sedangkan menurut Loudewijk F. paulus karakteristik terorisme ditinjau dari empat macam pengeompokan yang terdiri dari:
    Pertama, karakteristik organisasi yang meliputi: organisasi, rekrutmen, pendanaan dan hubungan internasional. Karakteristik operasi yang meliputi: perencanaan, waktu, taktik dan kolusi.
    Kedua, karakteristik perilaku yang meliputi: motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup. Karakteristik sumber daya yang meliputi : latihan/ kemampuan, pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi. Motif terorisme, teroris terinspirasi oleh motif yang berbeda, Motif terorisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rasional, psikologi, dan budaya yang kemudian dapat dijabarkan lebih luas menjadi: Membebaskan tanah air, memisahkan diri dari pemerintah yang sah (separatis),  melaksanakan tindakan kekerasan dengan melibatkan lebih dari satu negara.[4]
    c. Bentuk Terorisme
                Kalau dilihat dari sejarahnya maka, tipologi terorisme terdiri dari beberapa bentuk yaitu: Bentuk Pertama, terdiri atas pembunuhan politik pejabat pemerintah itu terjadi sebelum Perang Dunia II. Bentuk yang kedua, terorisme yang dimulai di Al-jazair di tahun limapuluhan, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak’ terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka (Algerian Nasionalist) sebut sebagai “terorisme negara”. Menurut mereka pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan kedilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasaran mereka yang tidak berdosa.
    Bentuk ketiga terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja dengan tujuan publisitas. The Bush Commision (wakil presiden AS, 1986) menyebutkan sebagai “teater politik”, contoh dari propaganda by dead”, Dalam masyarakat yang sebagian besar buta huruf dan apatis, seruan atau perjuangan melalui huruf-huruf tertulis dampaknya sangat kecil, sehingga lebih efektif menerapkan “ filsafat bom”, yakni bersifat eksplosif dan sulit untuk mengabaikannya.[5]
    2.      Kajian mengenai Hukum Humaniter Internasional
      1. Tinjauan umum mengenai  Hukum Humaniter Internasional
    1)      Pengertian Hukum Humaniter Internasional
    Hukum Humaniter, sebagai cabang dari Hukum Internasional Publik, belum banyak dikenal oleh masyarakat banyak. Demikian pula namanya yang banyak menimbulkan kebingungan karena memang agak menyesatkan. Tidak banyak yag mengira bahwa Hukum Humaniter merupakan nama baru dar yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang ( Laws of War)[6]
    Hukum Humaniter Internasional (HHI), sebagai salah satu bagian hukum internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang terjadi di berbagai negara. Dalam hal ini, HHI merupakan suatu instrumen kebijakan dan sekaligus pedoman teknis yang dapat digunakan oleh semua aktor internasional untuk mengatasi isu internasional berkaitan dengan kerugian dan korban perang.[7]
    Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter :
    1)     Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.
    2)     Geza Herzeg : “ Part of the rule of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different.
    3)     Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
    4)     Esbjorn Rosenbland : “The law of armed conflict berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian; pendudukan wilayah lawan; hubungan pihak yang bertikai dengan negara netral. Sedangkan Law of Warfare ini antara lain mencakup : metoda dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.”
    5)     S.R Sianturi : “Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“
    6)     Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundangundangan merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.”
    Dengan demikian, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).
    Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara — yang sering disebut traktat atau konvensi — dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam  perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.[8]
    3)      Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter Internasional
    Dibanding dengan prinsip hukum umum, hal yang lebih penting bagi HHI adalah prinsip-prinsip HHI atau yang dianggap sebagai prinsip-prinsip HHI yang fundamental. Prinsip tersebut yaitu prinsip pembatasan, prinsip necessity (kepentingan), prinsip larangan yang menyebabkan penderitaan seharusnya, prinsip kemanusiaan, dan Marten’s Clause (klausula Marten). masing-masing prinsip HHI ini tidak hanya berdasarkan pada satu macam sumber HHI saja, melainkan dari bernacam sumber. Prinsip-prinsip tersebut sebagai bagian dari suatu sistem HHI, satu sama lainnya bersifat saling melengkapi, menjelaskan, dan membantu penafsirannya.
    Dalam rangka membahas HHI dari sudut studi hubungan internasional, perlu pula dipahami prinsip-prinsip tersebut. Adapun prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
    a)      Kemanusiaan
    b)      Necessity
    c)      Proporsional (Proportionality)
    d)     Distincion (pembedaan)
    e)      Prohibition of causing unnecessary suffering (prinsip HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya)
    f)       Pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello
    g)      ketentuan minimal HHI
    h)      Tanggung jawab dalam pelaksanaan dan penegakan HHI.[9]

    4)      Jenis-Jenis Konflik Bersenjarta
    Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu : 1). “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict); serta 2.)  “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict). Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram.
    Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk konflik bersenjata, antara lain :
    • Starke, membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war proper between States, and armed conflict which are not of the character of war. Mengenai “armed conflict” yang menjadi pihak belum tentu negar, dapat juga bukan negara menjadi pihak dalam konflik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war”.
    • Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :
    1. Konflik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.
    2. Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin kampanye pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol. Konvensi Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
      1. Konflik bersenjata antar pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen Clause, Protokol II (penguasa : authority).
    3. Konflik bersenjata antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties). Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3 (penguasa), Marthen Clause, Protokol 2 (penguasa).
    4. Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan). Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
    5. Konflik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).
    • Haryomataram, membagi konflik bersenjata sebagai berikut :
    1) Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
    Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation)  dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
    Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
    Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir.
    Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
    Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.


    2) Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
    Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
    Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional. [10]












    1. Pembahasan
      1. Kedudukan Terorisme dalam Hukum Humaniter Internasional
    Pemberlakuan HHI tidak ditentukan oleh sebab atau tujuan perang, melainkan ditentukan oleh sifat tindakan perang itu sendiri. Oleh karena itu, apabila tindakan negara melawan terorisme atau memberantas terorisme dilakukan dengan cara mengerahkan angkatan bersenjatanya untuk melakukan tindakan perang, maka HHI harus diberlakukan. Sebaliknya, apabila negara mengarahkan polisi atau institusi lainnya untuk menyelidiki pelaku perbuatan terror, maka belum ada keharusan untuk memberlakukan HHI terhadap tindakan polisi yang belum dikategorikan sebagai tindakan perang.
                Dalam hal suatu tindakan melawan perbuatan terror tersebut terjadi pada waktu situasi perang, sudah barang tentu HHI tetap harus diberlakukan. Dalam hal demikian, HHI dapat digunakan untuk menentukan orang-orang yang harussdilindungi menurut HHI dan sekaligus untuk menentukan hak dan kewajiban orang-orang yang dilindungi serta hak dan kewajiban kombatan atau pihak yang sedang menjalankan tugas perang.
                Berkenaan dengan istilah perang melawan terorisme, HHI tidak memberikan definisi terhadap istilah terror, tetapi HHI menetapkan beberapa perbuatan yang dilarang karena dianggap sebagai perbuatan terror. sementara itu, setelah September 2001, pbb telah mengadakan berbagai konferensi dan deklarasi berkenan dengan upaya melawan terorisme, namun belum mencapai kesepakatan formal mengenai definisi dari istilah perang melawan terorisme menjadi popular semenjak Amerika melancarkan serangan Afganistan pasca pemboman World Trade center (WTC) New york 9 september 2001.
    Dan beberapa larangan yang termuat dalam konvensi-konvensi HHI seperti disebut di atas, secara umum dapat dipahami bahwa tindakan terror dilarang dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi oleh HHI. Dalam hal ini dapat dipahami pula bahwa larangan perbuatan terror tidak termasuk larangan perbuatan terror yang dilakukan terhadap kombatan atau orang yang turut secara langsung dalam peperangan. dengan demikian, kombatan dilarang melakukan perbuatan terror. terlebih lagi, bagi non kombatan dan sipil yang sejak semula memang tidak mempunyai hak untuk melakukan tindak kekerasan, oleh HHI, jelas dilarang melakukan perbuatan terror.[11]
    2. Langkah – langkah polotik atau hukum PBB
    Hukum internasional, sebagaimana diketahui, nuansa polotiknya cukup kuat, kesepakatan politik antar negara, baik berupa perjanjian, konvensi, kofenan maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya merupakan modal utama. Karena itu, sangat wajar kepentingan nasional selalu menjadi pijakan utama. Disinilah kearifan dituntut, sehingga terjadi pembahasan intensif, terus menerus, sehingga kepentingan bersama mempunyai nilai tawar lebih diatas kepentinagn negara, yang kadang/sering terlalu sempit.
    Dengan demikian, kematangan pandangan, wawasan, kearifan para pemimpin dunia sangat diperlukan. Dari wawasan yang luas tersebut akan mampu diwujudkan kesepakatan-kesepakatan bersama yang mampu mengakomodasikan kepentingan bersama tanpa merendahkan negara lain, baik dalam  bentuk, antara lain perjanjian, kesepakatan, maupun produk hukum lainnya.
    Tesis akan adanya bentura peradaban/ the clash of civilizaton yg digambarkan oleh Samuel P. Hungtington pasca hancurnya paham komunis, antara kebudayyaan barat dan islam dari perspekif HAM tidak mungkin dan tidak akan terjadi, ketika semua umat manusia telah memahami serta memiliki pandangan yang relatif sama tentang hakikat HAM serta makna keberadaannya di dunia.
    Tesis tersebut, disamping ada yang menerimanya, banyak juga pemikir yang menolak keras dalil tersebut baik di dunia barat maupun dunia timur. Kalau toh terjadi konflik, dasarnya bukan agama, namun lebih kepada kepentingan nasional sempit atau perbedaan politik yang ada. Namun, sebagai wacana bersama, menjadi bahan perenungan yang perlu dikaji terus.
    Terkait dengan adanya bahaya dan kejamnya teror, mmbawa banyak perubahan pemikiran dan langkah bersama dari banyak negara. Bentuk kerja sama antara lain semakin terjalin alinsi atau kedekatan antara negara dalam bentuk kerjasama, yang diharapkan mampu mengurangi ruang gerak para teroris. Untuk itu, langkah diplomasi dalam arti luas yang intensif menjadi sangat penting. Diplomasi yang dengan dimensi dan muatan beragam yang dilakukan oleh pimpinan formal maupun informal (agamawan, budayawan, pemikir, penulis, intelektual, dsb) merupakan bentuk partisipasi aktif yang akan membawa hasil lebih baik dan cepat. Lebih – lebih sifat kelompok garis keras, di luar meanstream utama dunia, selain bersifat mobile, juga terkait dengan paham fundamentalis, ekstrem, keras yang ada di dalam beragam keyakinan dan paham politik, doktrin, dan agama, akan lebih mudah diajak dialog.
    Teror sering mempunyai motif baik, namun didalam mencapai tujuan lewat cara-cara yang kasar dan tidak manusiawi. Motif yang muncul dapat dalam bentuk kemiskinan, penindasan, perlakuan tidak adil berkepanjangan, tereliminasi/terpinggirkan, dan motif lainnya, lebih-lebih kalu di kalangan yang tertindas tersebut timbul kesan, penguasa hanya membela yang kuat dan kaya. Hal ini akan semakin memicu tindakan ekstrem. Karenanya, paradigma bagaimana keamanan, kenyamanan, dan ketentraman umat manusia menjadi prioritas utama, menjadi acuan para pemimpin dunia. Untuk itu secara konkrit perlindungan HAM menjadi proritas utama.
    Pemimpin atau kelompok yang berpihak pada rakyat tersebut berarti menempatkan HAM sebagai landasan salah satu pemikiran /kebijaksanaan dalam setiap keputusan politik yang ada. Dengan demikian, kelompok kuat/negara maju yang memperlihatkan garis politik yang tidak adil, malah menyakitkan bagi kelompok lainnya yang merasa tertindas, akan menjadi batu sandung mengurangi bahaya teror.
    Banyak penganut internasional yang berpendapat, minculnya gerakan radikal di timur tengah adalah akibat kebijaksanaan politik luar negeri AS yang berstandar ganda. Satu pihak “membabi buta” membela Israel, pada lain pihak menekan rakyat Palestina. Penindasan Israel di luar batas kemanusiaan, yang jelas-jelas merupakan bentuk teror dan me;anggar HAM dibela mati-matian oleh AS. Berapa banyak  resolusi Dewan keamanan yang mengutuk Israel menjadin kandas akibat ditolak oleh AS.
    Secara terperinci, Hasnan Habib menyatakan kelompok yang melakuakn teror, tujauannya antara lain adalah :
    1.      Untuk memperoleh konsesi-konsesi tertentu, sepertinuang tebusan, pembebasan tahanan politik, penyebarluasan pesan, dsb.
    2.      Memperoleh publikasi luas, teroris ingin menarik perhatian masyarakat luas kepada aspirasi perjuanagan dan pengakuan terhadap eksistensinya sebagai pihak yang bersengketa
    3.      Menimbulkan kekacauan luas, demiralisasi dan disfunsi sistem sosial yang merupakan tipikal dari kelompok revolusioner, nihilis dan anarkis.
    4.      Memancing retaliasi dan/atau kontrateror dari pemerintah, sehingga dapat menggulingkan pemerintahan
    5.      Memaksakan kepatuhan dan ketaatan, tipikal pemerintah totaliter.
    6.      Menghukum yang bersalah, atau dipandang sebagai simbol dari sesuatau yang jahat/salah, seperti orang-orang yang tidak setuju dengan tujuan perjuanagn mereka, bekerjasama dengan penguasa
    PBB telah menyusun banyak instrumen hukum dalam bentuk konvensi internasional, khususnya terkait dengan terorisme antara lain the Convention on the Prevention and Punishment of crimes againts Internationally Protected Persons , including Diplomatic Agents (New York, 1973) , the Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft (The Hague, 1970) , the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation (Montreal, 1971), the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (Vienna, 1980), the Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation (Montreal, 1988), yhe Convention for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Maritime Navigation (Rome, 1988), the Protocol for the  Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (Rome, 1988), the Convention on the Continental Shelf (Rome, 1988), the Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection (Montreal, 19910, International Convention for the Suppression of the Bombings (New York, 1997), Internatioanl Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism (New York, 1999).
    PBB juga telah membentuk Kelompok Kerja Kebijakan (Policy Working Group) yang melakukan analisis atas semua aspek terkait dengan aktivitas teroris. Hasil penelitian tersebut merupakan bahan baku bagi PBB dalam mengambil langkah lanjut untuk meredam aksi terorisme di seluruh dunia. Kompleksitas masalah terorisme adalah tantangan yang harus dihadapi oleh PBB, karena masalah terorisme mencakup spektrum yang sangat luas dan multidimensi.Hal ini membuat PBB melalui kelompok kerjanya membentuk sub-sub kelompok yang memiliki tugas secara khusus sesuai isu yang ditanganinya, yang meliputi : a) internatioanal legal instruments and international criminal justice issues, b) human rights, c) activities of the United Nations system, d) weapon of mass destruction, other weapons and technology, e) use of ideology (secular and religious) council, g) media and communications, h) non-United nations multilateral initiatives (Poltak P. Nainggolan, Ed.2002: 110).
    Salah satu instrumen hukum penting untuk memotong garis komando jaringan intra dan antarteror adalah dengan memotong aliran dan pembekuan dana yang digunakan untuk membiayai kegiatannya. Aktivitas tersebut sekaligus memberantas kegiatan narkotika, prostitusi, perjudian, perdagangan senjata gelap, korupsi, pencucian uang yang dipakai sebagai sumber dananya. Dengan adanya instrumen tersebut diharapkan para teroris akan “lelah” dan mengubah cara memperjuangkan aspirasinya lewat dialog intensif. Untuk maksud tersebut, PBB telah mengesahkan satu Konvensi Internasional tentang Penghentian Dukungan Finansial bagi Kegiatan Terorisme (International Convention for thr Suppression of the Financing of Terrorism).
    Upaya memerangi terorisme tercermin pulka dari himbauan Dewan Keamanan PBB agar semua anggota PBB memberikan laporan program penanggulangan/perlawanan terhadap terorisme kepada Komisi Antiterorisme (the Counter-Terrorism Committee) yang ada. Komisi dibentuk atas perintah DK PBB lewat resolusi No. 1373. Dalam resolusi tersebut, Komisi dapat melakukan langkah-langkah prevenrif dan represif yang cukup luas untuk memerangi ulah dan gerak para teroris. Tak terbayangkan apa jadinya kalau para teroris sampai menguasai senjata pemusnah massal, semisal nuclear, baik kimia maupun biologi.
    Untuk mengantisipasi hal ini, beberapa aktivitas PBB yang dapat dicatat, antara lain telah diadakan United Nations Conference on the Illicit Manufacturing and Trafficking in Firearms, Their Parts and Components and Amunition sebagai lampiran dari United Nations Convention againts Transnational Organized Crime. Komisi ini juga mendapat bantuan/masukan dari badan dunia lainnya, WHO, IAEA (International Atom Energy Agency), dan organisasi lainnya.
    Negara-negara ASEAN dalam KTT di Brunei Darussalam pada tanggal 5-6 November 2001 telah sepakat untuk saling bekerja sama dalam memerangi kelompok terorisme, disamping tetap mempromosikan kawasan Asia Tenggara sebagai tempat aman bagi investasi dan pariwisata. Karena itu, kerangka kerja regional dalam pemberantasan kejahatan teror lintas nasioanal, aksi bersama telah disusun.
    Indonesia sendiri telah melakukan langkah-langkah yuridis, diawali dengan dikeluarkannya :
    1.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI No. 1/2002, tanggal 18 Oktober 2002,
    2.      Peraturan Pemerintah tanggal 18 Oktober 2002, Pengganti Undang-Undang No. 2/2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang REI, No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorismje, pada peristiwa Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002,
    3.      Instruksi Presiden No. 4/2002 tentang Penanganan Masalah Terorisme, tanggal 22 Oktober 2002,
    4.      Instruksi Presiden No. 5/2002 kepada Kepala Badan Intelijen Negara mangenai Penanganan Masalah Terorisme, tanggal 22 Oktober 2002, dan
    5.      Undang-Undang No. 126 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, tanggal 4 April 2003.[12]













    1. Kesimpulan dan Saran

    Kesimpulan
    1. Kedudukan Terorisme dala Perspektif Hukum Humaniter Internasional
    Berkenaan dengan istilah perang melawan terorisme, HHI tidak memberikan definisi terhadap istilah terror, tetapi HHI menetapkan beberapa perbuatan yang dilarang karena dianggap sebagai perbuatan terror.
    Dalam hal ini dapat dipahami pula bahwa larangan perbuatan terror tidak termasuk larangan perbuatan terror yang dilakukan terhadap kombatan atau orang yang turut secara langsung dalam peperangan. dengan demikian, kombatan dilarang melakukan perbuatan terror. terlebih lagi, bagi non kombatan dan sipil yang sejak semula memang tidak mempunyai hak untuk melakukan tindak kekerasan, oleh HHI, jelas dilarang melakukan perbuatan terror.
    1. Langkah-langkah Politik/Hukum PBB
    PBB telah menyusun banyak instrumen hukum dalam bentuk konvensi internasional, khususnya terkait dengan terorisme antara lain the Convention on the Prevention and Punishment of crimes againts Internationally Protected Persons , including Diplomatic Agents (New York, 1973) , the Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft (The Hague, 1970) , the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation (Montreal, 1971), the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (Vienna, 1980), the Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation (Montreal, 1988), yhe Convention for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Maritime Navigation (Rome, 1988), the Protocol for the  Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (Rome, 1988), the Convention on the Continental Shelf (Rome, 1988), the Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection (Montreal, 19910, International Convention for the Suppression of the Bombings (New York, 1997), Internatioanl Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism (New York, 1999).
    PBB juga telah membentuk Kelompok Kerja Kebijakan (Policy Working Group) yang melakukan analisis atas semua aspek terkait dengan aktivitas teroris. Hasil penelitian tersebut merupakan bahan baku bagi PBB dalam mengambil langkah lanjut untuk meredam aksi terorisme di seluruh dunia. Kompleksitas masalah terorisme adalah tantangan yang harus dihadapi oleh PBB, karena masalah terorisme mencakup spektrum yang sangat luas dan multidimensi.Hal ini membuat PBB melalui kelompok kerjanya membentuk sub-sub kelompok yang memiliki tugas secara khusus sesuai isu yang ditanganinya, yang meliputi : a) internatioanal legal instruments and international criminal justice issues, b) human rights, c) activities of the United Nations system, d) weapon of mass destruction, other weapons and technology, e) use of ideology (secular and religious) council, g) media and communications, h) non-United nations multilateral initiatives (Poltak P. Nainggolan, Ed.2002: 110).

    Saran
    Meskipun Hukum Humaniter Inetrnasional tidak mengatur secara jelas mengenai terorisme, alangkah baiknya apabila masing-masing negara membuat kebijakan nasional (berupa undang-undang) terhadap aksi terorisme yang selama ini makinmeresahkan keamanan dan ketertiban masyarakat di suatu negara.









    Daftar Pustaka

    Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik. Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum. 2004. Bandung: PT Rafika Aditama
    GPH. Haryomataram 2007. Pengantar Hukum Humaniter International. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

    Ambarwati, Denny Ramadhany, Rina Rusman. 2009. Hukum Humaniter dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
    Masyhur Effendi.2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi manusia (HAKHAM). Bogor: Ghalia Indonesia
    http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme diakses pada tanggal 9 April 2011


    [1] http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme diakses pada tanggal 9 April 2011

    [2]  Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik. Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum. 2004. Bandung: PT Rafika Aditama halaman 24-25
    [4] Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik. Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum. 2004. Bandung: PT Rafika Aditama halaman 32-33
    [5] Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik. Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum. 2004. Bandung: PT Rafika Aditama halaman 39
    [6] GPH. Haryomataram 2007. Pengantar Hukum Humaniter International. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada halaman 1

    [7] Ambarwati, Denny Ramadhany, Rina Rusman. 2009. Hukum Humaniter dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada halaman 27

    [9] Ambarwati, Denny Ramadhany, Rina Rusman. 2009. Hukum Humaniter dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada halaman 40-41

    [10] http://dewaarka.wordpress.com/2010/03/08/hukum-humaniter-internasional/
    Diakses tanggal 11 Mei 2011
    [11] Ambarwati, Denny Ramadhany, Rina Rusman. 2009. Hukum Humaniter dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, halaman 73-75

    [12] Masyhur Effendi.2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi manusia (HAKHAM). Bogor: Ghalia Indonesiahalaman 207-211

    0

    Tambahkan komentar


  3. A. Judul
    Sejarah Dan Kandungan Filsafat Hukum Pada Abad Pertengahan

    B.  Latar Belakang
    Filsafat barat abad pertengahan (476-1492 M) bisa dikatakan abad kegelapan, karena pihak gereja membatasi para filosof dalam berfikir, sehingga ilmu pengetahuan terhambat dan tidak bisa berkembang, karena semuanya diatur oleh doktirn-doktrin gereja yang berdasarkan kenyakinan. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dari keyakinan para gerejawan, maka filosof tersebut dianggap murtad dan akan dihukum berat samapai pada hukuman mati. (hhtp: Filsafat pada Abad Pertengahan _ Sutisna.Com.htm: Diakses 20 Maret 2011)
    Abad Pertengahan ini didominasi oleh agama, agama Kristiani di Barat dan agama Islam di Timur. Jaman ini memberikan pemikiranpemikiran baru meskipun tidak menghilangkan sama sekali kebudayaan Yunani dan Romawi. Karya-karya Aristoteles dipelajari oleh para ahli pikir Islam yang kemudian diteruskan oleh ahli pikir di Barat. (Abdul Ghofur Anshori, 2006: 14)
    Abad Pertengahan merupakan masa yang khas, yang ditandai dengan suatu pandangan hidup manusia yang merasa dirinya tidak berarti tanpa Tuhan. selama abad pertengahan tolok ukur pada setiap pemikiran orang adalah kepercayaan bahwa aturan semesta alam telah ditetapkan oleh Allah sang Pencipta. Sesuai dengan kepercayaan itu hukum pertama-tama hukum dipandang sebagai suatu aturan yang berasal dari Allah. Oleh karena itu, untuk membentuk hukum positif maka manusia sebenarnya hanya ikut mengatur hidup. sebab, hukum yang ditetapkannya harus dicocokkan dengan aturan yang telah ada, yaitu sesuai dengan aturan-aturan agama. Hukum yang dibentuk mempunyai  akar dalam agama, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut agama Kristiani hukum berhubungan dengan wahyu secara tidak langsung (augustinus, Thimas Aquinas), yaitu hukum yang dibuat manusia, disusun di bawah inspirasi agama dan wahyu, sementara paham dalam agama Islam hukum berhubungan dengan wahyu secara langsung (Al-Syafi’i dan lain-lain, sehingga hukum agama Islam dipandang sebagai bagian wahyu (syariah).
                Pada masa ini mulai terjadi perbedaan antara hukum yang berasal dari Tuhan dengan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. hukum yang didapati dari wahyu disebut Hukum positif illahi  (ius divinium positivum) dan hukum yang diketahui oleh manusia berdasarkan akal budi (ius positivum humanum) (Zainuddin Ali,  2010: 14-15 )
    Terlepas dari sedemikian kayanya akan rumusan yang rinci, filsafat hukum jaman petengahan pada dasarnya sangat seragam. Ia berkulmunasi dalam filsafat hukum Thomas Aquinas, yang memberikan pembahasan panjang lebar tentang hukum dalam Summa Theologia. Pada dasarnya, filsafat hukum ini diajarkan hingga masa sekarang oleh pemikir Khatolik yang melihat adanya ungkapan sempurna tentang philosophia perennis dalam sistemnya Thomas Aquinas. Karena, setidaknya dalam bidang filsafat hukum, transisi dari unsure-unsur Augustine dan Plato yang terkandung dalam pemikirannyamenuju Thomas Aquinas berikut terlebih lagi karena di bidang hukum Thomas Aquinas serigkali mempertahankan pemikiran jaman pertengahan dan menolak Aristoteles.

    C. Rumusan Masalah
                Melalui tulisan ini penulis ingin membahas secara rinci mengenai:
    1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Filsafat Hukum Pada abad pertengahan?
    2. Apa yang terkandung dalam Kandungan Filsafat Hukum Abad Pertengahan?

    D. Analisis Mengenai Sejarah Dan Kandungan Filsafat Hukum Pada Abad Pertengahan

    1.  Sejarah Perkembangan Filsafat Hukum Pada Abad Pertengahan
    Secara historis, filsafat hukum, pada mulanya, dipelajari dalam permenungan-permenungan yang abstrak sifatnya. Permenungan filosofis ini dirintis oleh tokoh-tokoh filsafat Yunani Kuno, seperti Aristoteles, Plato, dan lainnya. Namun semenjak mulai menguatnya pengaruh kekuasaan bangsa Romawi, yang menyebarluaskan teks-teks hukumnyha ke seluruh penjuru Eropa, ditambah lagi, mulai dibentuknya sekolah-sekolah hukum di kawasan itu juga, studi tentang hukum mulai mengalami perubahan, baik secara epistemologis maupun metodelogis. Sekolah hukum dibentuk untuk menciptakan ahli-ahli hukum yamg mampu membuat aturan dan menyelesaiknnya sengketa hukum, yang makin tinggi intensitasnya, semenjak berkembangnya kegiatan perdagangan dan tumbuhnya kota-kota baru di seantero Eropa (Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang,  2007: 29)
    Albert de Groote dalam ajarannya tentang kesusilaan mengatakan bahwa hukum kodrat adalah tidak lain daripada hukum yang berasal dari akal atau yang sama dengannya oleh karena “alam” adalah “ redelijk”.
    dengan menggabungkan “akal” dengan “alam” maka timbul masalah-masalah baru untuk mahzab scholastiek. Apa “akal” berasal dari “alam” atau sebaliknya “alam” berasal dari akal manusia; mana yang lebih utama?
    Pada “akal” hendak didasarkan segala sesuatu. Pengertian “alam” didesak ke belakang. Harus dicari pengertian-pengertian umum, bentuk pelaksanaan dari pengertian-pengertian umum, bentuk pelaksanaan dari pengertian-pengertian tersebut dan dari hal-hal tersebut diambil keputusan-keputusan untuk tiap-tiap masalah.
    Dibidang Hukum Kodrat tak mungkin adanya ikut campur keputusan manusia. Tidak ada suatu kekuasaan di dunia, juga “Sri Paus” tidak, yang dapat mengadakan perubahan. Kepercayaan terhadap “obyektivitas” akal adalah sangat besar. akan tetapi dengan begitu apa tidak timbul pertentangan dengan agama? Thomas van Aquino mengadakan perbedaan yang tajam antara 4 pengertian hukum (rechtskategorien) tersebut dia atas, yaitu hukum abadi (lex aeterna), hukum ketuhanan (lex divina), hukum kodrat (lex naturalis), hukum positip..
    1. Lex aeterna adalah hukum keseluruhan yang berakar pada jiwa Tuhan. Yang dapat melihat dan dapat menyelami  hukum abadi ini adalah hanya Tuhan sendiri, manusia tak dapat mengenalnya. Akan tetapi sebagian kecil dari hukum tersebut, dikenalkan oleh Tuhan kepada manusia dengan perantaraan wahyu. hukum ini dinamakan.
    2. Hukum Ketuhanan (Lex divina), misalnya Undang-Undang nabi Musa.
    3. Hukum Kodrat (Lex naturalis) adalah bagian dari hukum yang dapat ditemukan oleh manusia dengan perantaraan akalnya. Lex naturalis  adalah bayangan dari hukum abadi dalam akal manusia satu bagian dari hukum abadi yang dikenal oleh manusia, sebagai hal yang terang hal sudah selayaknya, karena terkandung pembawaan manusia sebagai makhluk  yang berakal, maka manusia semuanya bertindak dengan cara yang sama terhadap hukum kodrat. Karena adanya kesatuan dari akal, maka asas-asas pokok adalah sama untuk semua orang dan hukum kodrta tak dapat diubah-ubah.
    4. Hukum positip adalah pelaksanaan dari hukum kodrat oleh manusia, terhubung dengan syarat-syarat khusu yang diperlukan oleh keadaan di dunia. Misalnya menurut undang-undang kodrat uyang asli : Benda adalah milik bersama; dan kemerdekaan itu hendaknya sepenuhnya bagi manusia. Akan tetapi terhubung dengan keadaan di dunia diadakan “hak milik” dan timbul lembaga “perbudakan”.
    Hukum positip yang oleh Thomas dinamakan undang-undang manusia (menschelijke wet) adalah hukum yang ada dan yang berlaku. Menurut Thomas undang-undang adalah tidak didasarkan alam, akan tetapi didasarkan pada akal. Dualisme antara antara alam dan hukum jadi dipecahklan ke jurusan kerohanian. Oleh karena perintah dan larangan termasuk dalam bidangnya, Undang-Undang adalah salah satu pedoman dan ukuran mendapat “alasan-alasannya” dari “kemauan”. Akal (rede) dituntut oleh kehendak. Undang-Undang dapat mengatur dan menunjuk, kehendak dari mereka yang memegang pemerintahan yang menentukan isi dari undang-undang.
    Undang-Undang hendak membuat satu peraturan yang ditujukan pada kebahagian. Manusia merupakan bagian dari negara dan masyarakat dan masyarakat merupakan satu persekutuan yang sempurna, yaitu dia mempunyai tujuan sendiri. Undang-undang harus mengabdi kepentingan umum. Manusia merupakan bagian dari keluarga, keluarga merupakan bagian dari negara. Undang-undang adalah suatu peraturan tertentu dari akal yang bertujuan untuk mengabdi kepentingan umum dan berasal dari satu masyarakat. Sabda Tuhan dari Hukum abadi sebagai sabda  Tuhan adalah abadi akan tetapi “dilihat” dari sudut manusia yang mengenalnya “sabda” tersebut tak bisa abadi. Hukum kodrat terdiri dari “pengambilan” bagian dari manusia yang berpikir pada hukum abadi. (Sutiksno , 2003:23-25)



    1. Kandungan Filsafat Hukum Abad Pertengahan
                Jika Seseorang Menanyakan apa yang secara khusus terkandung dalam filsafat hukum Thomas Aquinas dan Kaum Skolastika, dia dapat terlebih dahulu diberitahu bahwa filsafat hukum ini hanya dapat dipahami dalam kerangka umum kosmologi dan ontologis Skolastika. Karena di sini kami tidak dapat menghadirkan pkok bahasan yang luas dan rumit ini, akan lebih baik bila kami tunjukkna kerangka umum ini tentunya merupakan kerangka teologi rasional Skolastika, yang menyediakan bermacam spekulasi bagi nalar alamiah, selama batas-batas yang ditetapkan oleh pewahyuan ilaihiah tidak dilanggar .Dengan menangani problema tertentu dari suatu komuniat riil, hukum manusia dalam bermacam bentuknya mengimplementasikan hukum illahi, hukum alam, dan hukum abadi. Hukum positif manusia dibagi menjadi Hukum romawi, hukum agama, hukum raja, dan hukum adat. Jelaslah bahwa Thomas Aquinas memiliki pemikiran khusus tentang legislasi yang berbeda dengan ajudikasi; ini terbukti dalam semua pembahasannya. Ini perlu dinyatakan secara berbeda dengan kecenderungan untuk mempertimbangkan semua hukum jaman pertengahan sebagai sesuatu yang sudah dari sananya, namjun juga mest jelas bahwa Thomas aquinas menempatkan semua tatanan polotik, atau semua pemerintahan, pada posisi di bawah hukum, atau dengan kata lain, hukum menempati posisi utama dalam kerangka di mana semua pemerintahan Kristen mesti bergerak. Ini sesuai dengan pendapat umum bahwa dia pada akhirnya menempatkan kekuasaan sekuler pada posisi di bawah kekuasaan spiritual. Karena, sekalipun pendapat Thomas aquinas tidak mutlak eklesiastik, pandangannya tentang cara memutuskan tindakan dan perilaku sang raja sedemikian bermoral sehingga, menurutnya, tugas ini mesti diberikan kepada gereja.
    Sejalan dengan konsepsi umum tentang hukum ini, Thomas aquinas membahas empat pertanyaan utama dalam upaya mendefinisikan hukum. pertama, dia bertanya apakah hukum dan perundangan (lex) merupakan sesuatu yang rasional atau masuk akal. Dia menjawab bahwa karena hukum merupakan aturan dan ukuran tindakan manusia, ia mesti dikaitkan dengan nalar.
    Pertanyaan utama yang kedua yang dibahas Thomas Aquinas adalah apakah hukum ditujuakan bagi kebaikan umum. Jawabannya adalah iya. Karena hukum merupakan aturan bagi perilaku manusia dan karena tujuan dari semua perilaku itu adalah kebaghagiaan, maka hukum mesti ditujukan bagi kebaikan bersama. Tujuan yang dibahas Aquinas umumnya terkait dengan fakta tindakan baik tertentu dan karena itu sepertinya tidak terkait dengan kebaikan tetapi dengan kesejahteraan individu atau kelompok tertentu.
    Pertanyaan utama ketiga berkisar tentang isu mengenia apakah nalar setiap orang cocok untuk membuat hukum. Ditinjau dari jawabannya terhadap pertanyaan kedua, Thomas Aquinas memungkiri hal ini. Karena, bila hukum ditujukan bagi kebaikan dan kesejahteraan umum, maka ia hanya dapat dibuat oleh nalar dari semua orang atau dari tindakan sang raja atas nama rakyatnya, Terhadap keberatan yang agak semu, yang sepertinya nyaris tidak diketahui, Thomas Aquinas menjawab  dalam konteks jawabannya terdahulu. Kebaikan umum, yang memilki eksistensi obyektif, hanya bisa dipastikan oleh komunitas atau perwakilannya. Barangkali memang tidak diperlukan alasan tertentu yang dikemukakan untuk pemikiran ini. penegasana itu hanya diulang-ulang,dalam kaitannya dengan kapasitas legislatif orang banyak dan berkenaan dengan kualitas keterwakilan raja.
    Tanpa menyebut secara rinci, pertanyaan utama keempat yang akan dijelaskan mempertanyakan apakah publikasi merupakan esensi hukum. aquinas menjwab secara sangat ekplisit bahwa memang benar demikian. Alasannya ialah bahwa, karena hukum menagndung aturan yang berlaku bagi mereka yang tunduk kepadanya, maka aturan ini mesti mereka ketahui agar memilki nilai kewajiban. aturan ini bersumber dari hukum agama, yang dikuti Thomas Aquinas. ( Carl Joachhim Friedrich, 2010: 54-57)
    Keadilan juga merupakan suatu hal yang utama dalam teori hukum Thomas Aquinas. Meskipun Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-rnenukar, dan keadilan legal, tetapi keadilan legal menduduki peranan yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena keadilan legal menuntut agar orang tunduk pada undang-undang, sebab mentaati hukum merupakan sikap yang baik. Jelaslah bahwa kedua tokoh Kristiani ini mendasarkan teori hukumnya pada Hukum Tuhan.
    Pemikir Islam mendasarkan teori hukurnnya pada agama Islam, yaitu pada wahyu Ilahi yang disampaikan kepada Nabi . Dari ahli pikir Islam AI-Syafii-Iah aturan-aturan hukum diolah secara sistematis. Sumber hukum Islam adalah AI-Quran, kemudian Hadis yang merupakan ajaran-ajaran dalam hidup Nabi Muhammad saw . Peraturanperaturan yang disetujui oleh umat juga menjadi hukum, hukum mufakat, yang disebut juga ijmak. Sumber hukum yang lainnya adalah qiyas, yaitu analogi atau persamaan. Hukum Islam ini meliputi segala bidang kehidupan manusia. I-Iukum Islam hidup dalam jiwa orang-orang Islam, dan berdasarkan pad a agama. I-lukum Islam merupakan hidup ideal bagi penganutnya. Oleh karena Hukum Islam berdasarkan pada Al Quran maka Hukum Islam adalah hukum yang mempunyai hubungan dengan Allah, langsung sebagai wahyu. Aturan hukum harus dibuat berdasarkan wahyu (Muhammad Khalid Masud, 1996: 12-13).
    Dengan kata lain pada abad pertengahan ini ada dua pandangan yang berbeda. Menurut Syafi'i mengapa hukum harus dicocokkan dengan ketentuan agama karena hukum berhubungan dengan wahyu secara langsung, sehingga hukum dipandang sebagai bagian dari wahyu. Berbeda dengan Syafi 'i, menurut Agustinus dan Thomas Aquinas hukum berhubungan dengan wahyu secara tidak langsung, yaitu hukum yang dibuat manusia, disusun di bawah inspirasi agama dan wahyu (Huijbers, 1995: 27)

    E. Kesimpulan
    Filsafat barat abad pertengahan (476-1492 M) bisa dikatakan abad kegelapan, karena pihak gereja membatasi para filosof dalam berfikir, sehingga ilmu pengetahuan terhambat dan tidak bisa berkembang, karena semuanya diatur oleh doktirn-doktrin gereja yang berdasarkan kenyakinan. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dari keyakinan para gerejawan, maka filosof tersebut dianggap murtad dan akan dihukum berat samapai pada hukuman mati
    Sejalan dengan konsepsi umum tentang hukum ini, Thomas aquinas membahas empat pertanyaan utama dalam upaya mendefinisikan hukum. pertama, dia bertanya apakah hukum dan perundangan (lex) merupakan sesuatu yang rasional atau masuk akal, apakah hukum ditujuakan bagi kebaikan umum, tentang isu mengenia apakah nalar setiap orang cocok untuk membuat hukum, pertanyaan utama keempat yang akan dijelaskan mempertanyakan apakah publikasi merupakan esensi hukum.



    Daftar Pustaka

    Abdul Ghofur Anshori. 2006. Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran, dan Pemaknaan.  Yogyakarta: Gajah Mada University Press
    Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang. 2007. Pengantar Ke Filsafat Hukum. Jakarta : Kencana
    Carl Joachhim Friedrich. 2010. Filsafat Hukum: Perspektif Sejarah. Bandung: Nusa Media
    Muhammad Khalid Masud. 1996. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pustaka

    Sutiksno. 2003. Filsafat Hukum.  Jakarta: Pradnya Paramita

    Zainuddin Ali. 2010. Filsafat Hukum  Jakarta: Sinar Grafika

    hhtp: Filsafat pada Abad Pertengahan _ Sutisna.Com.htm: Diakses 20 Maret 2011


    0

    Tambahkan komentar


    1. Latar Belakang Masalah
    Hukum dan keadilan adalah dua kata yang memiliki hubungan erat, dimana hubungan keduanya tidak dapat  dipisahkan. Ketika kita mendengar seseorang mengucapkan perkataan hukum maka tanpa berpikir panjang, kita kemudian berfikir bahwa hukum itu harus mengandung nilai-nilai keadilan, dan sebaliknya ketika ada seseorang mengucapkan perkataan keadilan, tanpa berfikir panjang lagi bahwa itu ada kaitannya dengan istilah hukum. keadilan dan ketidakadilan tentu dipengaruhi masalah penegakan hukum di negara tersebut.
    kata-kata yang paling sering digunakan oleh para ahli hukum ketika memuji atau mencela hukum atau pelaksanaanya adalah kata “adil” dan “tidak adil”, dan mereka seringkali menulis seolah-olah ide keadilandan moralitas adalah dua hal yang tinggal berdampingan. Memang ada alasan yang amat kuat mengapa keadilan memiliki kedudukan paling menonjol dalam kritik atas tatanan hukum’namun kita perlu melihat bahwa keadilan adalah segmen lain moralitas, dan bahwa hukum dan pelaksanaan hukum bisa jadi memiliki atau tidak memiliki jenis kelebihan yang berbeda pula. Sedikit perenungan atas tipe-tipe umum penilaian moral sudah cukup untuk mrnunjuksn karakter khusus dari keadilan ini. seseorang yang bersalah karena brutal terhadap anaknya seringkali akan dinilai bahwa ia telah melakukan sesuatu yang secara moral salah, buruk, atau bahkan jahat, atau bahwa ia telah mengabaikan kewajiban atau tugas moralnya kepada si anak. namun akan janggal bila kita mengkritik tindakannya sebagai hal yang tidak adil. Ini bukan karena pekataan tidak adil terlalu lemah kekuatannya sebagai pencela, namun karena sasaran kritk moral dari kacamata keadilan atau ketidakadilan biasanya berbeda dari, dan lebih spesifik dari, tipe-tipe kritik moral umum lainnya yang sesuai untuk kasus khusus ini dan diekspresikan dengan kata-kata seperti salah, buruk, atau jahat ( H.L.A. Hart, 2010: 244).
    1. Rumusan Masalah
    Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang penulis paparkan di atas, serta agar permasalahan yang akan dibahas menjadi lebih jelas dan mencapai tujuan sebgaimana yang penulis harapkan, maka perlu adanya perumusan masalah. Adapun beberapa permasalahan yang akan penulis kaji  yaitu :
    1. Bagaimanakah penegakan hukum dewasa ini di Indonesia, sudahkah memenuhi  rasa keadilan bagi  masyarakat?

    1. Analisis Terhadap Ketidakadilan Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia
    Setelah satu dekade reformasi hukum di negeri ini, nampaknya warna keadilan di Indonesia masih abu-abu. Tidak ada kejelasan merupakan gambaran yang tepat untuk menggambarkan hukum negeri ini.
     Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mengadakan seminar terbuka bertajuk Staganasi Hukum di Indonesia yang diadakan di Setiabudi Building, Jakarta, Kamis (5/8).  Dalam seminar tersebut, salah satu anggota HuMa Asep Yunan F menyoroti kinerja hukum di negara ini yang cenderung diam dan tidak bergerak.
     Menurutnya ada beberapa faktor utama yang menyebabkan stagnasi hukum di Indonesia. Diantaranya adalah yang menurutnya paling penting yaitu politik dan arah pembaruan hukum yang  elitis karena agenda-agenda pembaharuan hukum sejatinya masih dikontrol oleh negara dan organisasi-organisasi internasional.
     Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah faktor kebobrokan mental para penegak hukum di negeri ini yang sarat korupsi dan melahirkan mafia-mafia hukum, Selanjutnya adalah faktor kualitas legislasi nasional dan daerah yang rendah (http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/05/160278/16/1/Hukum-dan-Keadilan-di-Indonesia-masih-Abu-Abu, diakses 23 Mei 2011).
    Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak sederhana, bukan saja kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan  antara sistem hukum dengan sistem social, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagaisuatu proses, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan variable yang mempunyai korelasi dan interpendensi dengan factor-faktor yang lain. Ada beberapa factor terkait yang menentukan proses penegakan hukm sebagaimana diungkapkan oleh Lawrence M Friedman, yaitu komponen substansi, struktur, dan cultural. Beberapa komponen tersebut termasuk ruang lingkup bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. Kesemua factor tersebut akan sangat menentukan proses penegakan hukum dalam masyarakat dan tidak dapat dinafikan satu dengan yang lainnya. Kegagalan pada salah satu komponen akan berimbas pada factor yang lainnya .
    Hukum sendiri berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukumyang telah dilanggar harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan . Dalam menegakkan hukum ada tiga usur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit).
    Dalam keadilan, masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat menyamaratakan. Barangsiapa mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan: adil bagi si Suto belum tentu dirasakan adil bagi si Noyo (Sudikno Mertokusumo, 2003:160-161).
    Aristoteles dalam buku kelima Etika Nikomakea menjelaskan ”yang sesuai dengan undang-undang dan yang sama itu adil” Immanuel Kant dan para pengikutnya mengembalikna makna tindakan yang adil pada suatu undang-undang (tatanan/order), yaitu undang-undang akal budi, pada asas rasio, pada maxim. Herbamas berbicara tentang prinsip diskursus, yaitu tentang prosedur penetapan norma-norma yang dapat dikembalikan pada rasio komunikatif. John Rawls juga mencoba menetapkan makna keadilan. Bertolak dari konstruksi sipikiran tentang posisi asali Rawls menekankan tuntutan ketidak berpihakan sebagai prinsip keadilan (Anthon  F. Susanto,2010: 284).
    Kasus Mbok Minah, perempuan paruh baya asal Banyumas, Jawa Tengah, yang kedapatan mengambil tiga buah kakao dari sebuah perkebunan, membuat banyak pihak terkejut. Apalagi kemudian dia dijatuhi vonis satu bulan hanya karena mengambil buah yang terjatuh senilai Rp 6.000.
    Tak kalah membuat miris adalah kasus Manisih bersama dua anaknya di Batang, Jateng. Mereka dibui karena dituduh mencuri buah randu atau kapuk senilai Rp 12 ribu. Contoh lain di Kediri, Jawa Timur. Buruh tani bernama Basar dan Khalil juga harus merasakan dinginnya sel tahanan karena kedapatan mencuri semangka di lahan milik tetangganya (http://berita.liputan6.com/hukrim/200912/254324/class=%27vidico%27, diakses 23 Mei 2011).Pada umumnya, memang benar bahwa kita tak bisa menyimpulkan dari prinsip-prinsip yang digunkan dalam memutuskan beratnya hukuman itu apa sebenarnya tujuan sistem hukman atau perilaku macam apakah yang bisa dibenarkan untuk dihukum ( H.L.A. Hart, 2009:  halaman 51)
    Lanjar harus menjadi tersangka karena kelalaiannya sehingga menyebabkan istrinya tewas. Sedangkan sopir mobil yang menabrak istrinya, tidak bisa dijadikan tersangka karena kecelakaan di luar kemampuan sopir. Dalam kecelakaan tersebut, Lanjar sebagai pengendara motor dinilai lalai sehingga terjadi kecelakaan karena menabrak mobil di depannya. Dalam kecelakaan itu istrinya, Saptaningsih terpental ke tengah jalan dan kemudian terlindas mobil isuzu panther yang datang dari arah depan. Sedangkan pengendara mobil panther yang menabrak dan menyebabkan tewasnya Saptaningsih tidak bisa dikenai status terdakwa dengan dalih yang sama yaitu karena kelalaian . (http://www.detiknews.com/read/2010/01/11/164410/1276051/10/polisi-karanganyar-penanganan-kasus-lanjar-sesuai-prosedur, diakses 23 Mei2 2011).
    Walau berkas Gayus Tambunan telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan dan segera dilimpahkan ke pengadilan, kasus ini masih ganjil. Hingga kini belum terkuak asal-muasal harta sekitar Rp 100 miliar yang dimiliki bekas pegawai pajak ini. Agar tak muncul kesan ada yang ditutup-tutupi, penyidik mestinya membongkar tuntas pihak mana pun yang menyuap Gayus.Sudah menjadi fakta bahwa pegawai yang dipecat dengan tidak hormat dari Direktorat Jenderal Pajak itu memiliki harta Rp 74 miliar yang disimpan di Singapura. Polisi telah menyita harta berupa duit dolar Singapura, dolar Amerika, dan logam mulia yang disembunyikan di kotak penyimpanan ini. Dinyatakan oleh kepolisian, temuan ini di luar uang Rp 25 miliar yang sebelumnya ditemukan di rekening tersangka (http://kamushukum.com/en/keganjilan-kasus-gayus/,  diakses 23 Mei 2011). Pada kasus ini menjadi fenomenal ketika Gayus Tambunan yang berada di tahanan bisa keluar masuk penjara seenaknya dan bisa pergi melihat turnamen tenis internasional di Bali dan pergi piknik ke Singapura.
    Tiga anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, yakni Denny Indrayana, Mas Achmad Santosa, dan Yunus Husein melakukan inspeksi mendadak ke Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, Minggu (10/1) malam. Mereka memulai sidak di rumah tahanan perempuan itu tepat pukul 19.30 WIB (http://kifni.com/tag/kasus-artalyta-penjara-mewah, diakses 23 Mei 2011). Dimana dalam penjara salah satu penghuni rumah tahanan tersebut ditemukan pada tahanan Artalyta, faslitas mewah seperti dapur, fasilitas karaoke, AC, peralatan salon layaknya hotel bintang lima dan tidak seperti penjara pada umumnya.
    Kasus-kasus tersebut seolah menjadi cermin betapa penegakan hukum di Tanah Air masih tebang pilih. Ketika koruptor yang merampok uang rakyat masih bebas berkeliaran, mereka yang lemah secara ekonomi dan status sosial begitu mudahnya diseret ke meja hijau dan menunjukan bahwa rasa keadilan masyarakat sulit terwujud apabila penegakan hukum di Indonesia masih seperti itu.
    What are the principles of justice? Although there are many references to justice in court opinions, few provide any detailed elaboration of the concept, and many seem conclusory in nature. Noting this, some claim that justice is a question-begging concept which, beyond the formal justice notion of treating like cases alike, has no inherent substantive content and thus provides little or no guidance to legislators, judges, jurors,or ordinary citizens. This claim is incorrect. In both theory and everyday practice, the concept of justice has long been thought to encompass not merely a formal equality (treating like cases alike), but also a substantive equality which requires giving each person his or her “due” – what is his or hers as a matter of right – a requirement that is usually understood to be in direct conflict with the basic principles of aggregate social welfare theories such as utilitarianism or its modern variant, economic efficiency. (Richard W. Wright, The Principles of Justice †Justice is the end of government. It is the end of civil society.175 NOTRE DAME LAW REVIEW 1859 (2000) PROPTER HONORIS RESPECTUM: JOHN FINNIS)

    The primary subject of the principles of social justice is the basic structure of  society, the arrangement of major social institutionsinto one scheme of cooperation. We have seen that these principles are to govern the assignment of rights and duties in these institutions and they are to determine the appropriate distribution of the benefits and burdens of social life. The principles of justice for institutions must not be confused with the principles which apply to individuals and their actions in particular circumstances. These two kinds of 10. Institutions and Formal Justice principles apply to different subjects and must be discussed separately (John Rawls, 1921: 54).

    Memang, dalam kasus-kasus tertentu, keserupaan dan perbedaan di antara manusia yang relevan bagi kritik atas tatanan hukum yang adil atau tidak adil sudah cukup jelas. Hal ini terutama terjadi ketika yang kita maksud bukan keadilan atau ketidakadilan hukum melainkan penerapannya dalam kasus-kasus tertentu. Disini kemiripan dan perbedaan yang relevan di anatara individu, yang harus dirujuk oleh orang yang melaksanakan hukum, ditentukan oleh hukum itu sendiri ( H.L.A. Hart, 2010: 248)
    Pikiran yang logis tentunya akan segera mempersoalkan tentang sumber-sumber yang memungkinkan terjadinya diskriminasi tersebut. Pelacakan seperti itu membawa kita kepada masalah struktur kekuasaan dalam masyarakat. Struktur kekuasaan akan mengalokasikan berbagai sumber daya kepada golongan-golongan atau anggota-anggota masyarakat. Siapa pun yang berada pada kedudukan yang berkuasa dalam struktur kekuasaan, akan mampu menguasai pengalokasian kekuasaan (Satjipto Rahardjo, 2009: 62).
    Diketahui  bahwa hukum yang harus berpegangan pada prinsip kesamaan ternyata harus berhadapan dengan kenyataan yang sangat berbeda. Apabila hukum dituntut untuk memperlakukan setiap anggota masyarakat secara sama, pada saat yang sama hukum justru dihadapkan keadaan yang tidak sama.

    1. Kesimpulan
    Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak sederhana, bukan saja kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan  antara sistem hukum dengan sistem social, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagaisuatu proses, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan variable yang mempunyai korelasi dan interpendensi dengan factor-faktor yang lain. Ada beberapa factor terkait yang menentukan proses penegakan hukm sebagaimana diungkapkan oleh Lawrence M Friedman, yaitu komponen substansi, struktur, dan cultural. Beberapa komponen tersebut termasuk ruang lingkup bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. Kesemua factor tersebut akan sangat menentukan proses penegakan hukum dalam masyarakat dan tidak dapat dinafikan satu dengan yang lainnya. Kegagalan pada salah satu komponen akan berimbas pada factor yang lainnya .
                Beberapa kasus yang menunjukan penegakan hukum di Indonesia belum mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat diantaranya: kasus Mbok Minah, kasus Lanjar, Kasus Gayus, Kasus Artalyta, dan sebagainya.




    Daftar Pustaka
    Anthon  F. Susanto. 2010. Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing

    Hart, H.L.A, 2009. Hukum, Kebebasan dan Moralitas. Yogyakarta: Genta Publishing
    __________, 2010. Konsep Hukum: Terjemahan The Concept of law. Bandung: Nusa Media

    Satjipto Rahardjo. 2009. Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing

    Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenali Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty

    Richard W. Wright, The Principles of Justice †Justice is the end of government. It is the end of civil society.175 NOTRE DAME LAW REVIEW 1859 (2000) PROPTER HONORIS RESPECTUM: JOHN FINNIS)

    Rawls, John. 1921. A theory of justice. United States of America: President and Fellows of Harvard College





    1

    Lihat komentar


  4. A. Kepolisian Dan KodeEtik Kepolisian
    Dalam diktum penjelasan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, dinyatakan: perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya.
    Kepolisian merupakan salah satu pilar pertahanan negara, yang khusus menangani ketertiban dan keamanan masyarakat. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara republic Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua, ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan TAP MPR No. VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan kepolisian republic Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia secraa fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil  dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas subsidaritas dan asas partisipasi.
    Lebih lanjut dalam dictum lain dinyatakan bahwa asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum dalam undang-undang ini secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindakan pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan pperundang-undangan lainnya. namujn, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.
    Dalam Pasal 4 UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian dinyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. [1]
    Kepolisian dalam menjalankan  tugasnya selain tunduk  dan patuh pada UU Nomor 2 Tahun 2002 tersebut, juga memegang teguh prinsip-prinsip yang terkandung dalam “kode etik kepolisian”. Kode etik ini merupakan pedoman yang bersifat khusus, karena mengandung makna dan filosofi yang sangat mendalam bagi kepolisian itu sendiri. Menurut Liliana Tedjosaputro, di dalam pedoman pengamalan “Bhakti Dharma Waspada”, pedoman pengamalan seseorang polisi adalah “Rastra Sewakottama, negara Janottama, Yana Anucasana Dharma, yaitu sebagai berikut:
    I.       Setiap anggota Kepolisian Republik Indonesia adalah Insan Rastra Sewakottama:
                                                                1.      Mengabdi kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha esa;
                                                                2.      Berbhakti demi keagungan nusa dan bangsa yang bersendikan Pancasila dan UUD 1945, sebagai kehormatan tertinggi;
                                                                3.      Membela tanah air, mengamankan dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dengan tekad juang pantang menyerah;
                                                                4.      Menegakkan hukum dan menghormati kaidah-kaidah yang hidup di dalam masyarakat secara adil dan bijaksana;
                                                                5.      Melindungi, mengayomi, serta membimbing masyarakat sebagai wujud panggilan tugas pengayoman yang luhur
    II.    Setiap Anggota Kepolisian Republik Indonesia adalah insane  Janottama;
                                                                1.      Berdharma untuk menjamin ketenteraman umum bersama-sama warga masyarakat mebina ketertiban dan keamanan demi terwujudnya kegairahan kerja dan kesejahteraan lahir batin;
                                                                2.      Menampilkan dirinya sebagai warga negara yang berwibawa dan dicintai oleh sesama warga negara;
                                                                3.      Bersikap displin, percaya diri, tanggung jawab, penuh keikhlasan dalam tugas kesanggupan, serta selalu menyadari bahwa dirinya adalah warga masyarakat;
                                                                4.      Selalu peka dan tanggap dalam tugas, mengembangkan kemampuan dirinya, menilai tinggi mutu kerja, penuh kaktifan dan efisiensi serta menempatkan kepentingan tugas secara wajar di atas kepentingan pribadinya;
                                                                5.      Memupuk rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan serta kesetiakawanan dalam lingkungan masyarakat;
                                                                6.      Menjauhkan diri dari perbuatan dan sikap tercela serta mempelopori setiap tindakan, mengatasi kesulitan-kesulitan masyarakat sekelilingnya.
    III. Setiap anggota Kepolisian Republik Indonesia adalah insan yana Anucasana Dharma:
                                                                1.      Selalu waspada, siap sedia dan sanggup mengahadapi setiap kemungkinan dalam tugas;
                                                                2.      mampu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan penyalahgunaan;
                                                                3.      tidak mengenal berhenti dalam memberantas kejahatan dan mendahulukan cara-cara pencegahan daripada penindakan secara hukum;
                                                                4.      memelihara dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat;
                                                                5.      Bersama-sama segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan lainnya dan peran serta masyarakat, memelihara dan meningkatkan kemanunggalan ABRI-rakyat;
                                                                6.      Meletakkan setiap langkah tugas sebagai bagian dari pencapaian tujuan pembangunan nasional sesuai dengan manta penderitaan rakyat.
    Mencermati pedoman Kepolisian yang tertera di atas, terdapat gambaran bahwa sebenarnya institusi Kepolisian dalam menjalankan tugasnya telah dibekali oleh sebuah pedoman yang sangat baik. Namun suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, masih banyak anggota kepolisian yang menjalankan tugasnya justru tidak mematuhi pada pedoman tersebut, inilah persoalannya. Selain ketidakmampuan oknum polisi menjabarkan pedoman tersebut dalam menjalankan tugasnya, persoalan yang muncul pula adalah keterlibatan aparat dalam mem-bekking masalah-masalah yang merugikan masyarakat, misalnya perjudian, minuman keras, bahkan adakalanya oknum polisi yang bersangkutan yang turut serta minuman keras. Dengan demikian, kita tidak dapat berharap banyak kepada kepolisian dalam memberantas penyakit masyarakat, kalu polisinya sendiri tidak mampu menjaga harga diri dan martabatnya, oleh karena itu menurut penulis yang perlu dilakukan olwh pimpinan Kepolisian untuk memulihkan kembali citra tersebut adalah sebagai berikut.
    a.       Menindak tegas oknum polisi yang melakukan tindakan yang merugikan citra dan martabat kepolisian.
    b.      Memberikan penghargaan kepada oknum polisi yang melakukan tindakan terpuji dalam mengemaban tugasnya.
    c.       Memberikan dorongan kepada setiap anggota polisi untuk menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi.
    d.      Mengundang para pakar ke kantor kepolisian untuk melakukan dialog dalam segala hal, khususnya mengenai penangan masalah-masalah sosial dan hukum.[2]

    B. Kejaksaan Dan Kode Etik Kejaksaan
    Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu., setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
    Dalam usaha memperkuat prinsip di atas maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahn 1945 telah membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan, khusunya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut, dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, salah satunya adalah Kejaksaan republik Indonesia.
    Sejalan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, dan beberapa undang-undang yang baru, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraa, diadakanlah perubahan Undang-Undang tentang kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negra di bidang penuntutan  harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
    Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan mesti dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya dilaksanakan secaraindependen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Keberadaan kejaksaan dalam Negara Republik Indonesia memegang peranan yang sangat strategis, karena kejaksaan adalah lembaga negara yang diserahi tugas untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan lembaga peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tugas kelembagaan ini dilaksanakan oleh seorang yang disebut ”jaksa”. Dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 5 tahun 1991 dinyatakan bahwa, jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
    Kejaksaan sebagai salah satu pilar penegak hukum mempunyai tugas yang sangat berat dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia secara komprehensif. Penegakan supremasi hukum secara komprehensif ini merupakan salah satu alasan pemerintah mengeluarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menggantikan UU Nomor  5 Tahun 1991 yang lalu. dalam satu diktum pertimbangan UU Nomor 16 Tahun 2001 dinyatakan bahwa menimbang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang dasr Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional.[3]
                Jaksa dalam menjalankan tugas profesinya tersebut akan tunduk dan patuh pada sumpah atau janji, serta kode etik ini merupakan pedoman atau petunjuk dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, yang lazim disebut ” Tri Krama Adhyaksa”.
                menurut Liliana Tedjosaputro, ”Tri Krama Adhyaksa” adalah landasan jiwa setiap warga adhyaksa dalam meraih cita-cita luhurnya, terpatri dalam ”trapsila” yang disebut ”Tri Krama Adhyaksa” yang meliputi tiga krama, yaitu Satya, Adhy, Wicaksana. Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai Tiga Krama tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
                Satya, adalah kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadaap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupunkepada sesama manusia. hal ini diartikan juga jujur terhadap tugas, yakni bahwa setiap warga kejaksaan apa pun pangkat atau jabatan yang dimiliki, wajib menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik dan tidak berkhianat. Kesemuanya itu mencerminkan sikap berpegang teguh pada kebenaran dan keadilan yang dibuktikan dengan menjauhkan diri dari noda atau hal-hal lain yang dapat merugikan keberhasilan tugas-tugas kejaksaan.
                Adhy, adalah kesempurnaan dalam bertugas yang berunsur utama pada kepemilikan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga dan sesama manusia. Hal ini berarti bahwa setiap warga kejaksaan dalam melakukan perbuatan, baik di dalam maupun di luar dinas, selalu dilandasi dengan alasan-alasan yang benar sehingga perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya.
                Wicaksana, berarti bijaksana dalam tutur kata dan perilaku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangan. Hal ini berati bahwa setiap warga kejaksaan dalam menunaikan tugas dharma bhaktinya, disamping harus cakap, mampu dan terampil, harus pula membuktikan dirinya sebagai petugas yang matang dan dwasa dengan tanpa mengorbankan  prinsip dan ketegasan, dapat bertindak bijaksana.
                Lebih lanjut Liliana Tedjosaputro mengatakan bahwa untuk menjamin keberhasilan kejaksaan  dalam dharma bhaktinya, diperlukan adanya subdoktrin, yang merupakan doktrin pelaksanaan sesuai dengan pembidangan yang ada dalam lingkungan kejaksaan, yaitu:
    1. Indrya Adhyaksa untuk bidan inteljen;
    Bidang ini dalam melaksanakan tugasnya bertrilogi: hening, nastiti, kerti, atau peka, cermat, dan tuntas
    1. Kritya Adhyaksa untuk bidang operasi;
    Diartikan pekerjaan utama Adhyaksa dalam menjalankan pelaksanaan bertrilogi: akan, titis, waskita, atau cepat, tepat, dan cermat.
    1. Upakriya Adhyaksa untuk bidan pembinaan;
    Tugas pembinaan yang dilaksanakan dengan pedoman asah, asih, dan asuh.
    1. Anukara Adhyaksa untuk bidang pengawasan umum.
    bertrilogi : tata, titi, dan tatas atau teratur, teliti, dan tepat.[4]




    [1] Supriadi, 2008. Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 133-134
    [2] Supriadi, 2008. Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 142-144

    [3] Supriadi, 2008. Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 127-128
    [4] Supriadi, 2008. Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 132-133
    0

    Tambahkan komentar


  5. Perbedaan Kekebalan, Keistimewaan dan Kemudahan staf diplomatic, Staf Administrasi dan Staf Teknik Perwakilan Diplomatik, Staf Pelayanan, dan Staf Pelayan  Pribadi yaitu:

    1. Staf  Diplomatik
    Ketentuan –ketentuan untuk melindungi diri pribadi seorang diplomatik atau kekebalan-kekebalan mengenai diri pribadi seorang wakil diplomatic diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961. Sebagaimana kita ketahui, kekebalan diplomatic dalam bahasa asing mencakup dua pengertian, yaitu Inviolability dan Immunity. Inviolability diartikan kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan dari Negara penerima dan kekebalan terhadap segala gangguan yang merugikan sehingga disini mengandung pengertian memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari alat-alat kekuasaan negara penerima. Sementara Immunity diartikan sebagai kekebalan terhadap yurisdiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun hukum perdata.
    Pengertian inviolable yang tercantum dalam pasal 29 Konvensi Wina tahun 1961 berbunyi “ The person of diplomatic agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrest or detention “ yang berarti bahwa pejabat diplomatic adalah inviolable, ia tidak dapat ditangkap dan ditahan. Jadi, istilah inviolability tersebut sebagai kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan dari negara penerima maka pejabat diplomatik mempunyai hak untuk tidak dapat dikenakan tindakan kekuasaan oleh alat kekuasaan negara penerima, misalnya berupa penahanan dan penangkapan.
    Selain itu, inviolability juga diartikan sebagai kekebalan terhadap segala gangguan yang merugikan. Hal ini juga merupakan kelanjutan dari ketentuan pasal 29 Konvensi Wina yang menyatakan “… The receiving state… shall take appropriate stop to prevent any attack on his person, freedom, or dignity”. Jadi, seorang wakil diplomatic mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara penerima, yakni berupa pengambilan langkah yang dianggap perlu oleh negara penerima untuk mencegah setiap serangan terhadap kehormatan, kebebasan dan diri pribadi seorang wakil diplomatic tersebut.
    Selanjutnya, dari Pasal 29 Konvensi Wina  1961 dapat kita ketahui bahwa kekebalan yang melekat pada diri pribadi seorang wakil diplomatic tersebut mampu melindunginya dari semua serangan siapa pun dari mana pun. Pemerintah atau alat-alat negara dari negara-negara penerima bertanggung jawab untuk mengambil setiap langkah yang diperlukan untuk mencegah adanya serangan terhadap seorang diplomatik.
    Dengan demikian, jelaslah bahwa alat-alat negara dari negara penerima berkewajiban untuk memberikan perlindungan istimewa kepada seorang wakil diplomatic. Pengertian inviolable dalam pasal 29 adalah hak dari seorang wakil diplomatic untuk mendapatkan perlindungan istimewa dari negara penerima. Konsekuensi yang timbul dari ketentuan Pasal 29 Konvensi Wina 1961 ini adalah jika telah terjadi penyerangan terhadap wakil diplomatik di negara penerima tersebut maka penguasa setempat harus menuntut dan mengadili siapapun yang menyerang tersebut.
    Kekebalan yang melakat pada pribadi pejabat diplomatic secara garis besar juga mencakup segala macam peraturan hak-hak kekebalan diplomatic yang membuatnya berada di luar kekuasaan hukum atau yurisdiksi hukum (bukan di luar hukum) pperdata maupun pidana negara setempat di mana ia diakreditasi atau ditugaskan.
          Dengan demikian, hak-hak istimewa diplomatic yang melekat pada diri pribadi pejabat diplomatic mencakup kekebalan terhadap beberapa hal berikut:
    1.      Tuntutan dalam hal pengadilan mengenai :
    a   barang bergerak milik pribadi, bukan untuk perwakilan atau negara yang mengirimkannya;
    b  soal warisan di mana ia terlibat bukan dalam kedudukan resminya;
    c   soal-soal komersial dan profesional yang bersifat pribadi.
    2.      Kekebalan terhadap penangkapan/pelaksanaan keputusan hakim pengadilan setempat( kecuali dalam hal-hal pada poin a, b, dan c). Pengecualian secara khusus, yakni bila seorang pejabat diplomatik melakukan tindakan pidana yang bersifat politik terhadap pemerintah negara tempat ia diakreditasi maka ia  dapat ditangkap untuk kemudian diserahkan kepada pejabat-pejabat yang berwenang dari negara pengirimnya
    3.      Kekebalan terhadap perintah pengadilan untuk  bertindak sebagai saksi dalam suatu perkara. Bila warga negara biasa perintah untuk bertindak sebagai saksi ini merupakan suatu kewajiban maka tidak demikian dengan seorang pejabat diplomat.
    1. Staf Administrasi dan Staf Teknik Perwakilan Diplomatik
    Menurut pasal 1 huruf (f) konvensi Wina 1961 “Anggota staf teknik dan administratif” adalah anggota-anggota staf misi yang dipekerjakan di dalam pelayanan teknik dan administratif dari misi.
    Ketentuan –ketentuan untuk melindungi diri staf administrasi dan staf teknik perwakilan diplomatik atau kekebalan-kekebalan mengenai staf administrasi dan staf teknik perwakilan diplomatik diatur dalam Pasal 29 sampai 35 Konvensi Wina 1961, kecuali kekebalan terhadap yurisdikdi administrasi dalam Pasal 31 Ayat 1 tidak akan meluas sampai ke perbuatan yang di lakukan di luar tugas-tugas mereka.
    Mereka juga memperoleh keistimewaan dalam Pasal 36 Ayat 1 atas barang-barang yang dimasukkan pada saat pertama kali penempatan mereka. Antara lain bebas dari semua bea dan ongkos-ongkos yang berhubungan dengan penyimpangan, pelayanan, dan pengusungan atas barang-barang untuk kegunaan resmi perwakilan diplomatik, barang-barang pribadi pejabat diplomatik dan keluarganya. Begitu pula bagasi mereka bebas dari pemeriksaan tanpa ada anggapan bahwa bagasi itu berisi barang-barang yang terlarang oleh hukum atau diawasi oleh peraturan karantina negara penerima. Pemeriksaan demikian harus dilakukan dengan adanya pejabat diplomatik atau pejabat yang berwenang. Perlu diketahui, setiap orang asing yang memasuki wilayah tertentu, perlu memiliki sebuah pasport, dan pasport yang digunakan pada staff administrasi berbeda dengan pasport yang dimiliki staff diplomatik. Staff administrasi menggunakan pasport biasa, namun karena pentingnya peranan dari staff administrasi, mereka diperlakukan sama dengan seorang diplomat.

    1. Staf Pelayan Perwakilan Diplomatik
    Menrurut pasal 1 huruf (g) “Anggota staf pelayan” adalah anggota-anggota staf misi di dalam pelayanan domestik daripada misi. Ketentuan –ketentuan untuk melindungi diri staf pelayan perwakilan diplomatik atau kekebalan-kekebalan mengenai staf pelayan perwakilan diplomatik diatur dalam Pasal 33 Konvensi Wina 1961 yaitu anggota staf pelayan pada perwakilan diplomatik yang bukan warga negara dari atau tidak berdiam menetap di negara penerima mendapat kekebalan atas perbuatan yang dilakukan  dalam tugas-tugas mereka dan mendapat keistimewaan atas pembebasan dari iuran dan pajak atau pembayaran yang diterimanya dari pekerjaan itu serta pembebasan, antara lain bebas dari ketentuan-ketentuan keamanan sosial yang mungkin berlaku di negara penerima.

    1. Staf Pelayan Pribadi Diplomatik
    Menurut pasal 1 huruf (h) bahwa ). “Pelayan pribadi” adalah orang yang di dalam pelayanan domestik dari seorang anggota misi dan yang bukan pegawai Negara pengirim misi. Staf pembantu rumah tangga pribadi keluarga pejabat diplomatik bukan warga negara atau tidak berdiam menetap di negara penerima maka mereka mendapat pembebasan dari iuran dan pajak atas pembayaran yang diterimanya dari pekerjaanya itu. Dalam hal lain mereka hanya mendapat hak-hak istimewa dan kekebalan hukum seluas yang diakui oleh negara penerima. Meskipun demikian, negara penerima harus melakukan yurisdiksinya atas orang-orang itu sedemikian rupa sehingga tidak mencampuri pelaksanaan fungsi-fungsi perwakilan diplomatik secara tidak sah.
    Kasus Posisi
    Penyanderaan  Pejabat diplomatik dan staf kedutaan besar Amerika Serikat di Teheran pada tanggal 4 November 1979 sebagai reaksi terhadap diizinkannya Shah Iran masuk ke Amerika Serikat untuk mendapatkan perawatan medis. Tindakan itu dilakukan oleh mahasiswa militan Iran. Peristiwa tersebut mengundang reaksi hebat dari Amerika Serikat.
    Sebagaimana kita ketahui, kekebalan diplomatik dalam bahasa asing mencakup dua pengertian, yaitu Inviolability dan immunity. Inviolability diartikan sebagai kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan dari negara penerima dan kekebalan terhadap segala gangguan yang merugikan sehingga di sini terkandung pegertian memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari alat-alat kekuasaan negara penerima. Sementara Immunity diartikan sebagai kekebalan terhadap yurisdiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun hukum perdata.
    Selanjutnya, berdasarkan Pasal 29 Konvensi Wina  1961 dapat kita ketahui bahwa kekebalan yang melekat pada diri pribadi seorang wakil diplomatik tersebut mampu melindunginya dari semua serangan siapa pun dari mana pun. Pemerintah atau alat-alat negara dari negara-negara penerima bertanggung jawab untuk mengambil setiap langkah yang diperlukan untuk mencegah adanya serangan terhadap seorang diplomatik.
    Dengan demikian, jelaslah bahwa alat-alat negara dari negara penerima berkewajiban untuk memberikan perlindungan istimewa kepada seorang wakil diplomatik. Konsekuensi yang timbul dari ketentuan Pasal 29 Konvensi Wina 1961 ini adalah jika telah terjadi suatu penyerangan terhadap seorang wakil diplomatik di negara penerima tersebut maka penguasa setempat harus menuntut dan mengadili siapa pun yang menyerang tersebut.
    Jadi pejabat diplomatik dan staf diplomatik Amerika Serikat yang telah disandera oleh mahasiswa Iran dengan alasan yang telah disampaikan tadi. Pemerintah negara Iran harus menuntut dan mengadili siapa pun yang menyerang para pejabat diplomatik dan staf diplomatik sesuai dengan hukum nasional negara tersebut, karena para pejabat diplomatik dan staf diplomatik memiliki Inviolable yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan istimewa dari negara penerima (Pasal 29 Konvensi Wina 1961, berbunyi The person of diplomatic agent shaal be inviolable. He shall not be liable to any from of arrest or detention)



















    DAFTAR PUSTAKA

    Widagdo setyo, 2008. Hukum Diplomatik dan Konsuler,Bayumedia Publishing,  Malang.

    Delfiyanti, Bentuk Penyelesaian Sengketa Diplomatik Dalam Konvensi Wina Tahun 1961 Tentang Hubungan Diplomatik,, artikel.

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982, tentang Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan

    Undang- Undang Nomor 37 Tahun 1999, tentang Hubungan Internasional.
    0

    Tambahkan komentar


  6. BAB I
    PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang
    Pada diri manusia melekat adanya hak asasi manusia yang dibawa sejak lahir. salah satu hak asasi tersebut adalah hak kebebasan berfikir dan menyampaikan pendapat serta memperoleh informasi. Sehingga dalam konstitusi kita telah diakui bahwa setiap orang diakui dan dilindungi haknya untuk bebas berfikir dan menyampaikan pendapat serta memperoleh informasi.
    Adanya Pasal 28F Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwa Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
    Berdasarkan pasal tersebut dapat menjadi landasan hukum bagi setiap warga Negara Indonesia dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi salah satunya melalui sarana situs jejaring sosial.
    Pemanfaatan teknologi informasi semakin banyak dilakukan oleh masyarakat atau individu, maka kecenderungannya yang muncul mendorong terhadap pola perubahan sosial yang sangat cepat. Kenyataan itu tidak akan menjadi suatu permasalahan yang kompleks apabila perubahan sosial ini mengarah kepada aspek-aspek yang sifatnya konstruk. Tetapi akan menjadi berbalik jika perubahan sosial berekses atau berdampak pada perubahan nilai-nilai sosial yang mengabaikan aspek moral dan norma yang hidup di masyarakat itu sendiri.
    Sifat konstruktif dari dampak pemanfaatan teknologi ini yaitu teknologi digunakan untuk perkembangan dan kemajuan manusia, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan. Dapat diambil contohnya, seperti akses informasi dan ilmu pengetahuan (e-education), kegiatan transaksi bisnis (e-business), kegiatan pelayanan pemerintah (e-government), pelayanan kesehatan (e-medicien), pengiriman surat (e-mail), dan obrolan via internet (chatting). Sementara mengabaikan aspek-aspek moral berdampak pemanfaatan teknologi digunakan untuk hal-hal negatif, seperti untuk melihat situs-situs porno oleh anak di bawah umur. Tentu saja hal tersebut berpengaruh pada sikap mental anak tersebut. Penyalahgunaan teknologi informasi yang lain adalah untuk tujuan-tujuan kejahatan, fenomena crecker sebagai salah satu contohnya. ( Budi Agus Riswandi, 2006: 9-10)
    Di samping sifat konstruktif dari dampak pemanfaatan teknologi, ada beberapa peraturan yang sifatnya subtantif yang dapat diterapkan terhadap perilaku individu dalam jaringan elektronik. Pertama, untuk pengawasan oleh aktornya sendiri dapat diterapkan peraturan substantive berupa etika pribadi dengan konsekuensi sanksi sendiri ( self-sanction);  Kedua, pengawasan oleh pihak kedua, aturan substantifnya berupa penetapan kontraktual (contractual provisions), sanksinya dalam bentuk various self-help mechanisms; Ketiga, pengawasan oleh kekuatan sosial yang diorganisasi secara nonhierarkis, dengan aturan substantif berupa norma-norma sosial (social norm), dengan jenis sanksi berupa sanksi-sanksi sosial; dan Kelima, pengawas oleh pemerintah dengan aturan berupa hukum (law), dengan sanksi yang ditegakkan oleh Negara. (Budi Agus Riswandi, 2006: 13)
    Dari sekian instrument yang dapat digunakan untuk pengawasan terhadap perilaku orang dalam pemanfaatan jejaring sosial, diyakini hukum berperan sangat strategis. Bagaimanapun hukum memiliki fungsi peranan. Salah satu fungsi daripada hukum adalah sebagaiu sarana untuk melakukan pembaharuan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, dalam konteks mengarahkan implikasi pemanfaatan  teknologi jejaring sosial terhadap perubahan sosial harus digandeng dengan kondisi hukum yang memadai melalui pembentukan peraturan perundang-undangan.
    Jejaring sosial telah dimanfaatkan dalam berbagai kehidupan masyarakat diberbagai bidang baik disektor bisnis, komunikasi, pendidikan, dan lain-lain. Adanya hubungan antara informasi dan teknologi jaringan komunikasi telah menghasilkan dunia maya yang amat luas.
    Pesatnya penggunaan teknologi cyber space ini dapat dilihat dari maraknya pergaulan masyarakat yang memakai situs jaringan pertemanan di dunia maya seperti Facebook, Twitter, Friendster, Myspace, Multiply, dan lain-lain dimana melalui berbagai jaringan tersebut manusia dapat saling berhubungan ke berbagai negara tanpa batas dengan menggunakan internet.
    Komunitas masyarakat yang ikut bergabung di dalamnya pun kian hari semakin meningkat. Kecenderungan masyarakat untuk berkonsentrasi dalam cyber space merupakan bukti bahwa internet telah membawa kemudahan-kemudahan bagi masyarakat. Bagi sebagian orang Indonesia, munculnya fenomena ini telah mengubah perilaku manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain, baik secara individual maupun secara kelompok. Di samping itu, kemajuan teknologi di Indonesia tentunya akan berjalan bersamaan dengan munculnya perubahan-perubahan di bidang kemasyarakatan. Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Raharjo, ”banyak alasan yang dapat dikemukakan sebagai penyebab timbulnya suatu perubahan di dalam masyarakat tetapi perubahan dalam penerapan hasil-hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial. Perubahan-perubahan tersebut dapat mengenai nilai-nilai sosial, pola-pola perikelakuan, organisasi, susunan lembaga-lembaga masyarakat dan wewenang interaksi sosial dan lain sebagainya.
    Perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi khususnya penggunaan situs jejaring sosial juga tidak dapat dipungkiri membawa dampak negatif yang tidak kalah banyak dengan manfaat positif yang ada. Dapat dikatakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi ibarat pedang bermata dua. Belum lama ini, ada kasus empat pelajar dikeluarkan dari sekolah karena telah menghina sekolah, lalu ada kasus penipuan terhadap artis yang mengaku anaknya kemudian meminta sejumlah uang untuk keperluan pengobatan rumah sakit, ada juga kasus penawaran prostitusi melalui media jejaring sosial.
    Dunia maya khususnya penggunaan situs jejaring sosial juga telah mengubah kebiasaan banyak orang yang menggunakan internet untuk melakukan berbagai kegiatan dan juga membuka peluang terjadinya kejahatan sehingga memerlukan pengaturan secara yuridis.
                Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didukung dengan hasil data riset yang akurat terkait materi muatan. Secara garis besar materi yang termuat dalam peraturan tersebut adalah mengandung asas pengayoman, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah, ketertiban dan kepastian hukum serta keseimbangan, keserasian dan keselarasan (Hamidi, 2005: 2-10). Dengan demikian juga untuk muatan undang-undang tentang jejaring sosial serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
                Oleh karena itu untuk mewujudkan undang-undang yang baik diperlukan adanya riset atau kajian akademik dalam bentuk Naskah Akademik. Berdasarkan pertimbangan tersebutlah kajian ini dilakukan.
                Undang-undang yang baik harus disusun berdasarkan tiga landasan, meliputi: landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis. Menyangkut rancangan undang-undang tentang jejaring sosial ini terdapat tiga landasan seperti berikut.
    1.      Landasan Filosofis
    Peraturan perundang-undangan harus mendapatkan pembenaran yang dapat diterima jika dikaji secara filosofis yaitu cita-cita kebenaran, keadilan dan kesusilaan. Filasafat atau pandangan hidup suatu bangsa berisi nilai moral dan etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Nilai yang baik adalah nilai yang wajib dijunjung tinggi, di dalamnya ada nilai kebenaran, keadilan dan kesusilaan serta berbagai nilai lainnya yang dianggap baik. Pengertian baik, benar, adil dan susila tersebut menurut ukuran yang dimiliki bangsa yang bersangkutan. Hukum dibentuk tanpa memperhatikan moral bangsa akan sia-sia diterapkan tidak akan dipatuhi. Semua nilai yang ada di bumi Indonesia tercermin dari Pancasila, karena merupakan pandangan hidup, cita-cita bangsa, falsafah atau jalan kehidupan bangsa (way of life).
                Falsafah hidup merupakan suatu landasan untuk membentuk hukum suatu bangsa, dengan demikian hukum yang dibentuk harus mencerminkan falsafah suatu bangsa. Sehingga dalam penyusunan peraturan perundang-undangan termasu Undang-Undang pun harus mencerminkan nilai dan moral yang hidup di masyarakat yang bersangkutan.         
    Nilai moral atau etika dari suatu bangsa ada dalam falsafat atau pandangan hidup bangsa itu sendiri. Moral atau etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan tidak baik. Nilai yang baik adalah nilai yang dijunjung tinggi. Di dalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik. Pembentukan hukum harus memperhatikan moral bangsa akan sia-sia diterapkan, karena tidak akan ditaati dan dipatuhi. Pancasila merupakan pandangan hidup, cita-cita bangsa, falsafah atau jalan kehidupan (way of life) sehingga semua nilai yang ada di Indonesia telah terakumulasi di dalamnya.                                              Undang-undang merupakan wujud dari hukum. Jadi pembentukan undang-undng tentang jejaring sosial ini juga harus mencerminkan filsafat bangsa itu sendiri. Jadi jangan sampai bertentangan dengan nilai moral dan etika yang ada dan berlaku di Indonesia. Di samping itu dengan undang-undang ini mestinya dapat menjamin keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat dalam menggunakan situs jejaring sosial.
    2.      Landasan Yuridis
    Landasan Yuridis adalah landasan hukum ( Yuridisce Gelding ) yang menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid, competencie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan seorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan sangat diperlukan.Tanpa disebutkan dalam Peraturan perundang-undangan, seorang pejabat atau suatu badan adalah tidak berwenang (obevoegdheid) mengeluarkan peraturan.Landasan demikian sering disebut landasan yuridis formal.
    Landasan yuridis dari segi kewenangan dapat dilihat dari segi kewenangan yaitu apakah ada kewenangan seorang pejabat atau badan yang mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.Hal ini sangat perlu, mengingat sebuah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan atau pejabat yang tidak memiliki kewenangan maka perraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum (neitige). Misal : kewenangan untuk menyusun undang-undang ada pada DPR dan Presiden ; Peraturan Pemerintah ; dan Peraturan Presiden ada pada Presiden ; Peraturan Daerah Kabupaten ada pada Bupati bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten.
    Materi muatan dalam peraturan perundang-undangan maka harus berdasarkan atas sinkronisasi baik vertikal maupun horisontal.Disamping itu juga harus diperhatikan asas-asas lain seperti asas Lex Specialist Derograt legu Generali, asas yang kemudian mengesampingkan yang terdahulu dan lain sebagainnya.
    Beberapa perundang-undangan yang menjadi landasan pembentukan undang-undang tentang jejaring sosial adalah sebagai berikut:
    a.       Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    b.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
    c.       Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Dan Informasi Publik;
    d.      Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
    3.      Landasan Sosiologis
    Masyarakat berubah makna nilai-nilai pun ikut berubah, kecenderungan dan harapan masyarakat harus dapat diprediksi dan terakumulasi dalam peraturan perundang-undangan yang orientasi masa depan (Bagir Manan, 1992 : 15). Dari hal tersebut di atas, tersurat suatu hal dimana suatu peraturan perundang-undangan harus bisa mencerminkan kehidupan sosial masyarakat yang ada. Karena jika tidak mencerminkan kehidupan sosial masyarakat maka peraturan yang dibuat juga tidak akan mungkin dapat diterapkan karena tidak akan dipatuhi dan ditaati. Semua peraturan yang dibuat harus sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan supaya tidak terjadi suatu pertikaian karena peraturan yang dibuat tidak sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat.
    Peraturan perundang-undangan termasuk Undang-Undang merupakan wujud konkrit dari hukum. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan kenyataan, fenomena, perkembangan, dan keyakinan atau kesadaran serta kebutuhan hukum masyarakat. Keberadaannya harus mempunyai landasan sosiologis. Apabila ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat, maka untuk mengimplementasikannya tidak akan banyak mengalami kendala. Hukum yang dibuat harus dapat dipahami masyarakat sesuai dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian dalam penyusunan rancangan Undang-Undang harus sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan.
    Di Indonesia, komunitas dunia maya berkembang sedemikian pesat walau dalam hitungan persentase kecil dibanding populasi rakyat Indonesia. Onno W. Purbo sempat melakukan studi komunitas milis ini . Menurutnya, keberadaan fasilitas forum diskusi gratis internet menjadi motor utama terbentuknya komunitas maya di Indonesia di internet. Salah satu tempat mangkal gratis paling menarik adalah egroups.com (tahun 1998-an) yang kemudian berubah nama menjadi yahoogroups.com (tahun 2000) kemudahan fasilitas pembuatan forum diskusi email oleh pengguna biasa disertai fasilitas menejemen maupun  pengarsipan yang baik menjadikan yahoogroups.com basis utama komunitas dunia maya. Tentu jumlah itu sudah berlipat ganda pada tahun 2011 ini. Itu baru yang diwakili oleh yahoogroups.com saja, belum Gmail yang juga telah menelurkan fasilitas milis, ditambah dengan groups.or.id dan banyak lagi. Onno berpendapat komunitas dunia maya ini tidak bisa diremehkan. Mereka memiliki suatu kekuatan yang tak kalah dengan komunitas di dunia maya. ( Merry Magdalena dan Maswigrantoro Rose Setiadi, 2007: 4-6)
    Berawal dari milis disusul chat room, lalu kini mulai booming blogger, friendster, facebook, twitter dan lain sebagainya. Dalam survey yang dilakukan tahun 2010, ditelusuri bagaimana seseorang bisa mengenal blog, apa yang membuat blog menarik sebuah blog menarik untuk dikunjungi dan banyak lagi.
    Kini ketekunan pengguna facebook asal Indonesia membuahkan hasil menurut data yang dirilis Check facebook, per 11 oktober 2010 ini pengguna facebook tanah air telah melampui jumlah pengguna facebook asal Inggris. Seperti dikutip check facebook, 12 oktober 2010 ntotal pengguna facebook di Indonesia mencapai 27. 953.340 user. (Vivanews. Pengguna facebook Indonesia lewati Inggris, diakses 28 maret 2011 jam 16.00 WIB).
    Dari laporan di atas menunjukkan bahwa pengguna facebook Indonesia sangat banyak sehingga perlu ada regulasi yang mengatur penggunaan facebook khususnya, dan jejaring sosial pada umumnya. Agar tidak terjadi kasus seperti penipuan yang melibatkan gadis asal Bogor yang menggunakan modus jual pulsa atau kasus pelajar yang dikeluarkan dari sekolah karena menghina guru melalui jejaring sosial.
    Potensi kejahatan internet makin meningkat dengan makin banyaknya pengakses internet, terutama dengan pemanfaatan telepon cerdas yang kian hari harga dan tarifnya kian terjangkau. Dan basis “cybercrime” ke depan pun akan beralih ke jejaring sosial dengan makin banyaknya pengguna jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dan sebagainya. Dalam catatan, disebut-sebut Indonesia berada di posisi empat dunia dengan 14,6 juta pengguna, sementara untuk pengguna Twitter berjumlah 5,6 juta dan berada pada posisi keenam di dunia. Dari kasus terakhir, Febriari alias Ari diduga melakukan penculikan terhadap gadis di bawah umur Marieta Nova Triani dengan menggunakan media jejaring sosial Facebook. Sebelumnya, beberapa waktu lalu, Facebook juga digunakan sebagai wahana untuk melakukan transaksi seks.
    Modus kejahatan tersebut menambah deret modus-modus kejahatan internet melalui jejaring sosial yang terjadi di tanah air. Adapun modus-modus kejahatan berbasis jejaring sosial yang hadir lebih dulu antara lain pencemaran nama baik/penghinaan, penipuan, iklan judi online maupun
    pornografi dan pornoaksi online. (http://arifsaif.wordpress.com/tecnologi/media-kejahatan-lewat-jejaring-sosial/. Diakses: Selasa, 29 maret 2011 Pukul 14.30 WIB)
    B.     Identifikasi Masalah
    Sebagaimana diketahui bahwa mewujudkan sebuah Undang-Undang yang komprehensif, maka perlu dilakukan kajian akademis untuk mendapatkan kajian yang mendalam secara yuridis terhadap permasalahan yag terkait. Berdasarkan hal tersebut dan meperhatikan tujuan penyusunan Naskah Akademik ini, maka permasalahan yang urgen untuk dikaji adalah:
    1.         Apakah pembentukan Undang-Undang tentang Jejaring Sosial memiliki kelayakan secara akademik ?
    2.         Apakah pokok-pokok pikiran dan muatan yang harus ada dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jejaring Sosial, sehingga menghasilkan Undang-Undang yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis, yang pada gilirannya akan dapat diberlakukan secara efektif dan efisien serta diterima masyarakat ?

    C.    Tujuan dan Kegunaan
    Tujuan penyusunan Naskah Akademik dalam Undnag-Undang tentang Jejaring Sosial ini adalah :
    1.         Untuk mengkaji kelayakan secara akademik atas Rancangan Undang-Undang tentang Jejaring Sosial; dan
    2.         Untuk mengetahui pokok-pokok pengaturan yang perlu dirumuskan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jejaring Sosial yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis, yuridis, sosiologis, sehingga Undang-Undang yang akan diberlakukan dapat efektif dan efisien serta dapat diterima masyarakat.
    Kegunaan Naskah Akademik adalah menjadi dokumen resmi yang menyatu dengan konsep Rancangan Undnag-Undang tentang Jejaring Sosial berdasarkan prioritas Program Legislasi Nasional

    D.    Metode Penelitian
    1. Jenis Penelitian
    Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, atau dikenal sebagai penelitian hukum doctrinal atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan  hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Adapun penelitian doctrinal meliputi :
    a.         Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif ;
    b.        Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif ;
    c.         Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum inconcreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.
    1. Sifat Penelitian
    Ilmu hukum memiliki karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan (Peter mahmud Marzuki, 2005: 22 ).  Penelitian hukum adalah proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.  Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di dalam keilmuan yang bersifat deskriptif yang menguji kebenaran ada tidaknya sesuatu fakta yang disebabkan faktor tertentu. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai priskripsi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Peter mahmud Marzuki, 2005: 35)
    1. Pendekatan Penelitian
    Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan menggunakan pendekatan tersebut, penelitian akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang coba dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum diantaranya : pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach), (Peter mahmud Marzuki, 2005: 93)
    Adapun dalam penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan beberapa pendekatan yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi, diantaranya adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis dan pendekatan konseptual.
    Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi. Selanjutnya, pendekatan konseptual diaplikasikan dengan beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang ada, penulis akan menemukan ide-ide melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dalam ilmu hukum tersebut merupakan sandaran bagi penulis dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam menjawab isu yang dihadapi.
    1. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
    Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitan yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
    Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum.
    Dalam penelitian ini penulis meggunakan jenis dan sumber bahan hukum primer dan sekunder. Tentunya sumber bahan hukum yang dimaksud berkaitan dan menunjang diperolehnya jawaban atas pemasalahan penelitian yang diketengahkan penulis. Mengenai jenis dan sumber bahan hukum tersebut dapat dilihat dalam daftar pustaka penelitian hukum ini.
    1. Teknis Analisis Bahan Hukum
    Teknik analisis bahan hukum yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah silogisme dan interprestasi. Silogisme adalah metode argumentasi yang konklusinya diambil dari premis-premis yang menyatakan permasalahan yang berlain. Dalam mengambil konklusi harus terdapat sandaran untuk berpijak. Sandaran umum dihubungkan dengan permasalahan yang lebih khusus melalui term yang ada pada keduanya.
    Interpretasi  atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungkan dengan peristiwa tertentu adapun berdasarkan dasar penemuan hukum oleh hakim terdapat beberapa jenis interpretasi, diantaranya : interpretasi gramatikal yaitu penafsiran berdasarkan bahasa, interpretasi teologis atau sosiologis yaitu penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan stuasi dan kondisi yang baru, penafsiran sistimatis adalah dengan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungnya undang-undang lain. Interpretasi historis yaitu makna undang-undang dapat dijelaskan dan ditafsirkan dengan jalan menelusuri sejarah yang terjadi. Ada dua jenis interpretasi sejarah diantaranya penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Berikutnya adalah penafsiran komparatif yaitu interpretasi yang hendak memperoleh  penjelasan dengan jalan memperbandingkan hukum. Interpretasi futuistik merupakan metode penafsiran yang bersifat antisipatif  yaitu hendak memperoleh penjelasan dari ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Beberapa jenis metode interpretasi pada kenyataan sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapat dikatakan bahwa dalam setiap interpretasi atau penjelasan undang-undang mencakup beberapa jenis penafsiran.
    Berkenaan dengan pengkajian masalah penelitian dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknis analisis interpretasi sistematis, historis, dan teleologis dalam bentuk SWOT.
















    BAB II
    ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN NORMA

    A.      Tinjauan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
    Dalam Undang_undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45) pasa 1 Ayat ( 3 ) secara tegas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara Hukum. Ketentuan ini merupakan pernyataan dalam pelaksanaan kenegaraan serta segala ketentuan di negeri ini harus diatur dengan hukum. Berbagai bidang kehidupan manusia dapat terus berkembang karena ditunjang dengan ilmu pengetahuan yang terus mengembangkan teori. Selanjutnya teori tersebut dikembangkan dengan praktek dalam kehidupan nyata. Ilmu pengetahuan mengenai perundang-undangan merupakan pengantar dalam mempelajari beberapa hal penting serta yang dirasakan perlu dalam mempersiapkan, membuat, dan melaksanakan peraturan perundang-undangan.
    Istilah perundang-undangan mempunyai 2 (dua) pengertian yaitu proses pembentukan peraturan negara baik tingkat pusat dan daerah dan segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik pusat maupun daerah. Dengan demikian ilmu perundang-undangan bukan hanya bicara tentang proses pembentukan peraturan pada tingkat negara (pusat) melainkan juga seluruh peraturan perundang-undangan yang dibentuk daerah.
    Menurut kajian ilmu hukum dalam kehidupan bermasyarakat dikenal adanya berbagai norma hukum yaitu :
    1.      Norma hukum umum dan norma hukum individual;
    2.      Norma hukum abstrak dan norma hukum konkrit;
    3.      Norma hukum einmalig (sekali selesai) dan norma hukum daurhafiig (berlaku terus-menerus);
    4.      Norma hukum tunggal dan norma hukum berpasangan.
    Hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah mengenai daya laku dan daya guna serta keabsahan organ pembentuknya. Apabila dbentuk oleh lembaga yang berwenang dan sesuai norma hukum yang berlaku dan sah, maka norma seperti ini memiliki legitimasi dan dapat ditaati masyarakat. Norma hukum tersebut dibagi menjadi 4 (empat) kelompok yaitu: Norma fundamental negara (staats fundamental norm) sebagai norma tertinggi dalam sebuah negara dan ditetapkan oleh masyarakat; aturan dasar adalah aturan bersifat pokok, umum, dan garis besar dan masih bersifat tunggal, undang-undang formal, serta peraturan pelaksana atau otonom. Selanjutnya mengenai asas peraturan perundang-undangan ada 6 (enam) meliputi :
    1.      Undang-Undang tidak berlaku surut;
    2.      Undang-Undang yag dibuat oleh penguasa yang lebih tiggi memiliki kedudukan yang lebih tinggi pula;
    3.      Undang-Undang yang bersifat khusus menyamping undang-undang yang bersifat umum;
    4.      Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terlebih dahulu;
    5.      Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;
    6.      Undang-Undang sebagai saran asemaksimal mungkin dapat mensejahterakan spiritual dan matrial bagi masyarakat maupun pribadi melalui pembaharuan atau pelestarian.
    Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa membentuk peraturan tersebut harus berdasar pada asas pembentukan meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan matrei muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunanan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan , dan keterbukaan.
    B.       Asas-Asas Peraturan Perundang-Undangan
    Tentang berlakunya undang-undang atau undang-undang dalam arti materiel, dikenal adanya beberapa asas. Asas-asas ini dimaksudkan, agar perundang-undangan mempunyai akibat yang positif, apabila benar-benar dijadikan pegangan dalam penerapannya walaupun untuk hal itu masih diperlukan suatu penelitian yang mendalam untuk mengungkapkan kebenarannya. Beberapa asas yang lazim dikenal adalah sebagai berikut adalah:
    1.      Asas Pertama : Undang-undang tidak berlaku surut;
    2.      Asas Kedua: undang-undang dibuat penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. Hal ini mempunyai akibat-akibat sebagai berikut:
    a.        Peraturan yang lebih tinggi tidak dapat diubah atau dihapuskan oleh peraturan yang lebih rendah, akan tetapi proses sebaliknya adalah mungkin;
    b.       Hal-hal yang wajib diatur oleh peraturan atasan tidak mungkin diatur oleh peraturan rendahan sedangkan sebaliknya adalah mungkin;
    c.        Isi peraturan rendahan tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan atasan. Keadaan sebaliknya adalah mungkin dan kalau hal itu terjadi, maka peraturan rendahan itu menjadi batal;
    d.       Peraturan yeng lebih rendah dapat merupakan peraturan pelaksana dan peraturan atasan sebaliknya adalah tidak.
    3.      Asas Ketiga: menyatakan bahwa undang-undang yang berlaku khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, jika perbuatannya sama. Maksudnaya adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib dipelakukan undang-undang yang meneyebut peristiwa itu walaupun untuk peristiwa khusus itu dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat meneak- up peristiwa tersebut.
    4.      Asas Keempat: undang-undang yang berlaku terdahulu. Artinya adalah bahwa undang-undang lain yang lebih dahulu berlaku dimana diatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika Undang-Undang baru (yang berlaku belakangan) yang mengatur pula hal tertentu akan tetapi makna dan tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang yang lama tersebut;
    5.      Asas Kelima; menyatakan undang-undang tidak dapat diganggu gugat;
    6.      Asas Keenam; undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarkat maupun mencapai pribadi, dilakuka melalui pembaharuan dan pelestarian.
    I.C. Van der Vlies dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke”, membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang material. Asas-asas yang formal meliputi:
    1.      Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
    2.      Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
    3.      Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
    4.      Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
    5.      Asas konsensus (het beginsel van consensus).
    Asas-asas yang material meliputi:
    1.      Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar:
    2.      Asas tentang dapat dikenali;
    3.      Asas perlakuan yang sama dalam hukum;
    4.      Asas kepastian hukum;
    5.      Asas pelaksanaan hukum ssuai keadaan individual.
    Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai berikut:
    1.      Cita hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang berlaku sebagai “bintang pemandu”;
    2.      Asas negara berdasarkan atas hukum yang menempatkan Undang-Undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum, dan Asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan Undang-Undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Pemerintahan;
    3.      Asas-asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan Undang-Undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum dan asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan Undang-Undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.
    Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu meliputi juga:
    1.      Asas tujuan yang jelas;
    2.      Asas perlunya pengaturan;
    3.      Asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;
    4.      Asas dapatnya dilaksanakan;
    5.      Asas dapatnya dikenali;
    6.      Asas perlakuan yang sama dalam hukum;
    7.      Asas kepastian hukum;
    8.      Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
    Agar supaya pembentukan Undang-Undang tidak sewenang-wenang makna diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
    1.      Keterbukaan yakni bahwa sidang-sidang pembentukan Undang-Undang serta sikap tindakan pihak eksekutif dalam penyusunan perundang-undangan diumumkan, agar ada tanggapan dari warga masyarakat yang berminat;
    2.      Memberikan hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul tertulis kepada penguasa, dengan cara-cara sebagai berikut :
    a.       Penguasa mengundang mereka yang berminat untuk menghadiri suatu pembicaraan penting yang menyangkut suatu peraturan di bidang kehidupan tertentu.
    b.      Suatu departemen mengandung orgaisasi-organisasi tertentu untuk memberikan usul-usul tentang Rancangan Undang-Undang tertentu pula.
    c.       Acara dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat.
    d.      Pembentukan komisi-komisi penasihat yang terdiri dari tokoh-tokoh dan ahli-ahli terkemuka (Soerjono Soekanto, 1987 : 8).
    Secara logis mungkin peraturan-peraturan akan dapat mencakup dan memperhitungan semua perkembangan yang terjadi dalam masyarakat untuk mengurangi kelemahan-kelemahan tersebut, maka dapatlah ditempuh cara-cara sebagaimana dikemukakan di atas. Namun demikian harus tetap diakui bahwa pengaruh pribadi pasti akan ada pada pembentukan Undang-Undang (Soerjono Soekanto, 1987 : 8).
    Erat hubungannya dengan asas-asas perundang-undangan adalah tata urutan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undagan atau Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sumber hukum menurut Ketetapan MPR tersebut adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan. Sedangkan tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya.
    Tata urutan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
    1.      Undang-undang Dasar 1945;
    2.      Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU);
    3.      Peraturan Pemerintah;
    4.      Peraturan Presiden;
    5.      Peraturan Daerah.
    C.      Hierarki dalam Norma Hukum (Stufenbautheorie)
    Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum  (Stufenbautheorie). Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat diteruskan lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Groundnorm). Hans Kelsen menamakan norma yang tertinggi tersebut sebagai Groundnorm atau Basic Norm (Norma Dasar) dan Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah. Melalui Groundnorm ini maka semua peraturan hukum itu disusun dalam satu kesatuan secara hierarki, dengan demikian ia juga merupakan suatu sistem.
    Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan dari norma-norma yang berbeda di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan “pre-supposed”. Disamping itu, Norma Dasar menyebabkan terjadinya keterhubungan internal dari adanya sistem yang menggerakkan seluruh sistem hukum.
    Teori jnjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merki yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsanlit). Menurut Adolf Merki suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar ada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ini juga menjadi sumber hukum bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mepunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya, sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.
    Berdasarkan teori dari Adolf Merki tersebut maka dalam teori jenjang norma Hans Kelsen juga megemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu berdasar dan bersumber pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Lebih jauh, dinyatakan bahwa hukum positif hanyalah perwujudan dari adanya norma-norma dalam rangka untuk menyampaikan norma-norma hukum. Perwujudan norma tampak sebagai suatu bangunan atau susunan yang berjenjang mulai dari normatif positif yang tertinggi hingga perwujudan yang lebih rendah, yang disebut sebagai individual norm .
    Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, maka norma yang tertinggi (norma dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila norma dasar it berubah maka akan menjadi rusaklah sistem norma yang berada di bawahnya (Maria Farida Indrawati, 1996:28-29). Akhirnya norma-norma yang tergantung dalam hukum positif itu pun harus ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling dasar yaitu Groundnorm. Oleh karena itu, dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma yang lebih rendah. Agar keberadaan hukum itu sebagai suatu sistem tetap dapat dipertahankan, maka ia harus mampu mewujudkan tingkat kegunaan (efficaces) secara minimum.
    Sesuai dengan Stufenboutheorie Kelsen, maka tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 maka perundang-undangan Republik Indonesia memiliki kedudukan yang hierarki artinya perundang-undangan yang disebut kemudian atau dengan kata lain perundang-undangan yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi menjadi sumber hukum dari perundang-undangan yang berada di bawahnya. Perundang-undangan yang ada di bawah sebagai peraturan pelaksanaan dari perundang-undangan yang ada di atasnya.
    D.      Asas-Asas Muatan Undang-Undang
    Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dirumuskan juga dalam Undang-Undang khususnya Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan Pasal 6. Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi :
    1.      Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
    2.      Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundangan-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
    3.      Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Yang dimaksud dengan asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatan” adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya.
    4.      Dapat dilaksanakan; Yang dimaksud dengan asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
    5.      Kedayagunaan dan keberhasilgunaan; Yang dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan keberhsilgunaan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
    6.      Kejelasan rumusan; Yang dimaksud dengan asas “kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
    7.      Keterbukaan; Yang dimaksud dengan asas “keterbukaan” adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari pencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
    Sementara itu, asas-asas yang harus dikandung dalam muatan peraturan perundang-undangan dirumuskan dalam Pasal 6 sebagai berikut : 
    1.      Pengayoman; Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
    2.      Kemanusiaan; Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
    3.      Kebangsaan; Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    4.      Kekeluargaan; Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
    5.      Kenusantaraan; Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
    6.      Bhinneka tunggal ika; Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
    7.      Keadilan; Yang dimaksud dengan “asas keadilan”  adalah bahwa setiap materi muatan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
    8.      Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap materi muatan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
    9.      Ketertiban dan kepastian hukum: Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
    10.  Keseimbangan; Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
    Selain asas sebagaimana dimaksud di atas, peraturan peundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain: (1) dalam hukum pidana, misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; dan (2) dalam hukum perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
    E.     Teori Jejaring Sosial
    1. Pengertian Jejaring Sosial
    Jejaring sosial adalah struktur sosial yang terdiri dari elemen-elemen individual atau organisasi. Jejaring ini menunjukan jalan dimana mereka berhubungan karena kesamaan sosialitas, mulai dari mereka yang dikenal sehari-hari sampai dengan keluarga. Istilah ini diperkenalkan oleh profesor J. A. Barnes di tahun 1954.
    Jejaring sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, d
    an lain-lain.
    Analisis jaringan sosial memandang hubungan sosial sebagai simpul dan ikatan. Simpul adalah aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan adalah hubungan antar aktor tersebut. Bisa terdapat banyak jenis ikatan antar simpul. Penelitian dalam berbagai bidang akademik telah menunjukkan bahwa jaringan sosial beroperasi pada banyak tingkatan, mulai dari keluarga hingga negara, dan memegang peranan penting dalam menentukan cara memecahkan masalah, menjalankan organisasi, serta derajat keberhasilan seorang individu dalam mencapai tujuannya.
    Dalam bentuk yang paling sederhana, suatu jaringan sosial adalah peta semua ikatan yang relevan antar simpul yang dikaji. Jaringan tersebut dapat pula digunakan untuk menentukan modal sosial aktor individu. Konsep ini sering digambarkan dalam diagram jaringan sosial yang mewujudkan simpul sebagai titik dan ikatan sebagai garis penghubungnya. (http://id./wiki/Jejaring_sosialwikipedia.org Diakses Rabu, tanggal 30 Maret 2011 Pukul 16.05 WIB)
    Situs jejaring sosial atau social network service (SNS) diartikan oleh Boyd dan Ellison sebagai situs yang memberikan layanan berbasis web yang memungkinkan pengguna untuk (1) membangun suatu profil publik atau semi-publik dalam suatu sistem terbatas, (2) menampilkan daftar teman (pengguna lain) yang melaluinya para pengguna dapat saling berbagi relasi, dan (3) memperlihatkan dan mengubah daftar relasi mereka dalam sistem tersebut. Ofcom mendefinisikan situs jejaring sosial sebagai situs yang menyediakan layanan bagi pengguna untuk membuat profil atau halaman pribadi, dan membangun jejaring sosial online. Halaman profil berisi informasi pribadi (nama, kelamin, agama, hobi, dsb.). Sebagai tambahan, situs jejaring sosial juga menyediakan kostumasi halaman, layanan berbagi foto, video, dan musik. Pengguna dapat menbangun jejaring sosial yang dapat ditampilkan dalam bentuk daftar teman. Teman di sini dapat berarti teman atau kenalan mereka di dunia nyata, atau orang-orang yang hanya mereka kenal secaraonline, atau bahkan yang tidak mereka kenal sama sekali. (http://wuawua.wordpress.com/2010/01/27/menjembatani-teori-dan-aplikasi-belajar-dari-isu-isu-situs-jejaring-sosial/ Diakses: Minggu 3 April 2011 pukul 19.35 WIB)


    1. Sejarah Jejaring Sosial
    Sejak komputer dapat dihubungkan satu dengan lainnya dengan adanya internet banyak upaya awal untuk mendukung jejaring sosial melalui komunikasi antar komputer.
    Situs jejaring sosial diawali oleh Classmates.com pada tahun 1995 yang berfokus pada hubungan antar mantan teman sekolah dan SixDegrees.com pada tahun 1997 yang membuat ikatan tidak langsung. Dua model berbeda dari jejaring sosial yang lahir sekitar pada tahun 1999 adalah berbasiskan kepercayaan yang dikembangkan oleh Epinions.com, dan jejaring sosial yang berbasiskan pertemanan seperti yang dikembangkan oleh Uskup Jonathan yang kemudian dipakai pada beberapa situs UK regional di antara 1999 dan 2001. Inovasi meliputi tidak hanya memperlihatkan siapa berteman dengan siapa, tetapi memberikan pengguna kontrol yang lebih akan isi dan hubungan. Pada tahun 2005, suatu layanan jejaring sosial MySpace, dilaporkan lebih banyak diakses dibandingkan Google dengan Facebook, pesaing yang tumbuh dengan cepat. Jejaring sosial mulai menjadi bagian dari strategi internet bisnis sekitar tahun 2005 ketika Yahoo meluncurkan Yahoo! 360°. Pada bulan juli 2005 News Corporation membeli MySpace, diikuti oleh ITV (UK) membeli Friends Reunited pada Desember 2005. Diperkirakan ada lebih dari 200 situs jejaring
     sosial menggunakan model  jejaring sosial ini.
    1. Layanan Jejaring Sosial
    Banyak layanan jejaring  sosial berbasiskan web yang menyediakan kumpulan cara yang beragam bagi pengguna untuk dapat berinteraksi seperti chat, messaging, email, video, chat suara, share file, blog, diskusi grup, dan lain-lain. Umumnya jejaring sosial memberikan layanan untuk membuat biodata dirinya. Pengguna dapat meng-upload foto dirinya dan dapat menjadi teman dengan pengguna lainnya. Beberapa jejaring sosial memiliki fitur tambahan seperti pembuatan grup untuk dapat saling sharing didalamnya. (http://www.ridwanforge.net/blog/jejaring-sosial-social-networking, Diakses: Selasa, 29 maret 2011 Pukul 14.30 WIB)
    Lewat jejaring sosial mineral kita bisa bertemu secara maya tentunya
    dengan banyak sekali orang dengan berbagai macam kharakter dan latar belakang. Baik orang yang sudah kita kenal sebelumnya maupun orang yang baru kita kenal sebelumnya maupun orang yang baru akan kita kenal. Bahkan tidak sedikit juga orang-orang yang kita kenal sebagai selebritis mempunyai akun disalah satu jejaring sosial internet.
    Layanan jejaring sosial yang populer di Indonesia dan memilki jumlah
    pengguna yang lumayan banyak antara lain  friendster, myspace, facebook, dan
    multiply.
    a.      Friendster
    Friendster, yang ide penanamannya berasal dari nama Napste adalah sebuah situs web jaringan sosial dimana seorang pengguna akan membuat identitas maya dan kemudian mengisi data dirinya untuk kemudian mendapatkan account di friendster. Dalam friendster, kita juga dapat melihat teman dari teman
    kita, selain melihat teman kita sendiri.
    Fitur yang disediakan friendster yaitu menampilkan foto, profil, testimonial atau komentar serta blog dan widgetatau apliksi-apliksi. Friendster berfungsi sebagai alat berkomunikasi atau sebagai pengganti email.
    b.      Myspace
    Myspace hampir mirip dengan friendster. Hanya fiturnya jauh lebih lengkap. Myspace sangat populer di Eropa dan Amerika sedangkan di Indonesia penggunaannya masih kurang dibandingkan dengan friendster.
    c.       Facebook
    Facebook juga mirip dengan friendster dan myspace, yang
    membedakannya dan membuatnya lebih menarik adalah aplikasi-aplikasi yang disediakan oleh facebook dan aplikasi-aplikasi yang dapat dibuat sendiri. Lewat aplikasi itu kita bisa lebih akrab dengan teman-teman kita. Karena bisa digunakan untuk sarana berinteraksi. Selain itu ada fitur chat yang sangat mudah digunakan.
    Facebook diluncurkan pertama kali pada tanggal 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg sebagai media untuk saling mengenal bagi para mahasiswa Harvard. Dalam waktu dua minggu setelah diluncurkan, separuh dari semua mahasiswa Harvard telah mendaftar dan memiliki account di Facebook. Tak hanya itu, beberapa kampus lain di sekitar Harvard pun meminta untuk dimasukkan dalam jaringan Facebook. Zuckerberg pun akhirnya meminta bantuan dua temannya untuk membantu mengembangkan Facebook dan memenuhi permintaan kampus-kampus lain untuk bergabung dalam jaringannya. Dalam waktu 4 bulan semenjak diluncurkan, Facebook telah memiliki 30 kampus dalam jaringannya.
    Dengan kesuksesannya tersebut, Zuckerberg beserta dua orang temannya memutuskan untuk pindah ke Palo Alto dan menyewa apartemen di sana. Setelah beberapa minggu di Palo Alto. Zuckerberg berhasil bertemu dengan Sean Parker (cofounder Napster), dan dari hasil pertemuan tersebut Parker pun setuju pindah ke apartemen Facebook untuk bekerja sama mengembangkan Facebook. Tidak lama setelah itu, Parker berhasil mendapatkan Peter Thiel (cofounder Paypal) sebagai investor pertamanya. Thiel menginvestasikan 500 ribu US Dollar untuk pengembangan Facebook. Jumlah account di Facebook terus melonjak, sehingga pada pertengahan 2004 Friendster mengajukan tawaran kepada Zuckerberg untuk membeli Facebook seharga 10 juta US Dollar, dan Zuckerberg pun menolaknya. Zuckerberg sama sekali tidak menyesal menolak tawaran tersebut sebab tak lama setelah itu Facebook menerima sokongan dana lagi sebesar 12.7 juta US Dollar dari Accel Partners. Dan semenjak itu sokongan dana dari berbagai investor terus mengalir untuk pengembangan Facebook.
    Pada September 2005 Facebook tidak lagi membatasi jaringannya hanya untuk mahasiswa. Facebook pun membuka jaringannya untuk para siswa SMU. Beberapa waktu kemudian Facebook juga membuka jaringannya untuk para pekerja kantoran. Dan akhirnya pada September 2006 Facebook membuka pendaftaran untuk siapa saja yang memiliki alamat e-mail.
    Selain menolak tawaran dari Friendster seharga 10 juta US Dollar, Zuckerberg juga pernah menolak tawaran dari Viacom yang ingin membeli Facebook seharga 750 juta US Dollar, dan tawaran dari Yahoo yang ingin membeli Facebook seharga 1 milyar US Dollar. Tidak ada situs jejaring sosial lain yang mampu menandingi daya tarik Facebook terhadap user. Pada tahun 2007, terdapat penambahan 200 ribu account baru perharinya Lebih dari 25 juta user aktif menggunakan Facebook setiap harinya. Rata-rata user menghabiskan waktu sekitar 19 menit perhari untuk melakukan berbagai aktifitas di Facebook. Facebook makin populer di kalangan orang-orang tua. Indonesia. Salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk tercepat di Facebook (http://hiin.facebook.com/topic.php?uid=105537185657&topic=8807 Diakses: Minggu 3 April 2011 pukul 19.35 WIB)
    d.      Multiply
    Multiply memadukan layanan blog, file I media sharing denga jejaring di dalamnya lebih terasa dibandingkan Friendster, Facebook ataupun Myspace. Fitur-fitur yang disediakan multiply antara lain sharing blog, musik, foto, video, link, dan lain-lain. Sharing tersebut dapat dibatasia aksesnya. Bisa hanya untuk jaringan atau siapa saja. Bisa juga untuk khusus orang-orang yang kita tunjuk. Lewat sharing media tersebut sesama anggota multiply bisa memberikan komentar, selama mereka diberikan akses.
    Internet itu sendiri memiliki pengertian sebagai jaringan komputer luas dan besar yang mendunia, yaitu menghubungkan pemakai komputer dari suatu negara ke negara lain di seluruh dunia, yang di dalamnya terdapat berbagai sumber daya informasi mulai dari yang bersifat statis sampai yang bersifat dinamis dan interaktif. Pada awalnya, internet merupakan jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat di tahun 1969, melalui proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network ). Mereka mendemonstrasikan Hardware dan Software komputer yang berbasis UNIX, serta dapat melakukan komunikasi dalam jarak yang tak terhingga melalui saluran telepon.
    Proyek ARPANET merancang bentuk jaringan, kehandalan, seberapa besar informasi dapat di pindahkan, dan akhirnya semua standar yang mereka tentukan menjadi akal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol / Internet Protocol).
    Media internet adalah media yang tidak mengenal batas, baik batas-batas wilayah maupun batas-batas kenegaraan. Hal ini membawa dampak bagi perilaku para pengguna internet. Di lihat dari pengertian internet itu sendiri merupakan alat sebagi hasil penemuan teknologi yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, dalam hal ini internet dapat menyatukan media audio, visual, telekomunikasi bahkan dapat menkonversikan mediamedia tersebut.
    Sesuai dengan namanya WWW, yaitu World Wide Web, maka jaringan internet di suatu negara dengan segera dan dengan sendirinya akan masuk ke wilayah juridiksi negara lain. Meskipun demikian, internet juga diperlukan peraturan tentang perilaku, baik perilaku para penyedia akses, penyedia content, maupun penggunaan pengunjung. Bagi penyedia content salah satu peraturan perilaku yang harus dipatuhi  adalah perilaku yang menyangkut etika bisnis, sedangkan bagi pengguna dan pengunjung, terutama pengguna dan pengunjung media interaktif diperlukan peraturan tentang pemakaian bahasa dan sapaan-sapaan.
    1. Dampak Jejaring Sosial
    Setiap ada kemajuan di bidang apapun termasuk kemajuan di bidang teknologi, selalu membawa dampak. Dampak yang ditimbulkannya pun ada yang menuju kearah positif dan negatif. Internet adalah media komunikasi, jadi bukan sekedar kecanggihan fiturnya yang diperlukan. Lebih dari itu, kekuatan strategi komunikasi yang menjadi dasar utamanya.
    Beberapa fakta yang patut dikemukakan adalah sebagian besar pengguna Situs Jejaring Sosial adalah remaja dan dewasa muda. Sepertinya Situs Jejaring Sosial telah menjadi “tempat bermain” populer dan menyenangkan bagi mereka. Beberapa penelitian seperti mendukung fakta-fakta tersebut. Selain itu, kesadaran pengguna pada masalah privasi tidak menghentikan mereka untuk tetap terlibat dalam Situs Jejaring Sosial dengan beberapa alasan.
    Menurut, cepatnya pertumbuhan Situs Jejaring Sosial didorong oleh beberapa faktor yaitu:
    a.        Meningkatnya penetrasi internet dan kecepatan koneksinya;
    b.       Meningkatnya melek teknologi informasi dan komunikasi;
    c.        Meningkatnya usability/user-friendly aplikasi;
    d.       Situs Jejaring Sosial merupakan bagian dari pertumbuhan teknologi Web 2.0;
    e.        Komunikasi di sekitar topik-topik relasi sosial atau pergaulan; dan
    f.        Meningkatnya keanekaragaman aplikasi yang memperkaya Situs Jejaring Sosial, seperti instant messaging, social network display, chatting, dan layanan untuk berbagai foto, video, dan musik.
    Dari beberapa literature, penggunaan Situs Jejaring Sosial dapat memberikan keuntungan dan kerugian. Keuntungan yang dapat diberikan berupa:
    a.        Sebagai tempat mencari kesenangan dan hiburan;
    b.       Salah satu cara merawat relasi yang sudah ada;
    c.        Salah satu jalan untuk mencari teman lama;
    d.       Salah satu cara untuk membangun relasi baru;
    e.        Sebagai alat untuk membangun kepercayaaan diri;
    f.        Sebagai kesempatan untuk menjadi orang lain; dan
    g.       Sebagai sarana untuk mengangkat masalah-masalah sosial.
    Kerugian yang dapat diberikan oleh Situs Jejaring Sosial adalah sebagai berikut:
    a.        Terlalu banyak menghabiskan waktu pada Situs Jejaring Sosial;
    b.       Menggunakan profil untuk mempromosikan diri berlebihan;
    c.        Menipu melalui Situs Jejaring Sosial; dan
    d.       Disalahgunakan untuk tindakan menyimpang seperti pencurian identitas.
    1. Beberapa Isu pada Situs jejaring Sosial
    Situs Jejaring Sosial, sebagai aplikasi Web 2.0 yang paling digemari dalam beberapa tahun terakhir ini, mampu mampu menarik perhatian para peniliti. Makalah ini mencoba mengkategorikan hasil penelitian-penelitian Situs Jejaring Sosial ke dalam isu-isu, seperti privasi, presentasi diri, relasi, nilai, dan budaya dan perilaku. Isu-isu ini diangkat karena isu-isu ini cukup sering muncul pada berbagai sumber.
    a.       Privasi
    Isu pertama yang diangkat pada makalah ini adalah isu privasi dan kesadaran pengguna dalam menjaga informasi dirinya. Privasi adalah tingkat keterbukaan dan penerimaan seseorang terhadap kehadiran orang lain dalam hidupnya. Di dunia, orang cenderung memilih-memilih pihak-pihak mana saja diperbolehkan mengetahui atribut-atribut tertentu kehidupannya, tetapi di dunia maya ini sulit dilakukan karena sekali indentitas pengguna online, identitas akan terbuka kepada banyak orang kenalan dan bukan kenalan.
    Penelitian yang dilakukan oleh Tufekci pada Facebook dan Acquisti dan Gross pada MySpace menunjukkan bahwa sedikit atau tidak ada relasi antara kesadaran privasi pengguna dengan informasi pribadi yang ditampilkan. Sebagian pengguna sadar bahwa dengan terlibat dalam Situs Jejaring Sosial akan membuat indentitas mereka terbuka, tetapi mereka tetap melakukannya. Alasan mengapa mereka tetap melakukannya dijawab oleh Ofcom dan hasilnya berupa 8 alasan, yaitu:
    1)      Kurangnya kewaspadaan terhadap masalah privasi;
    2)      Bagi sebagian besar pengguna, inti dari mereka terlibat dalam Situs Jejaring Sosial adalah untuk memperluas jejaring sosial mereka di luar kehidupan nyata;
    3)      Adanya asumsi bahwa Situs Jejaring Sosial secara otomatis mengatur privasi mereka;
    4)      Tingkat literasi internet yang rendah;
    5)      Informasi dan fasilitas privasi dan keamanan sulit ditemukan dan digunakan;
    6)      Mereka beranggapan bahwa situs lain seperti online dating yang mendorong penggunanya untuk bertemu langsung, dan e-banking yang melibatkan transfer uang, jauh lebih berbahaya daripada Situs Jejaring Sosial;
    7)      Pengguna baru merasa bahwa profil mereka masih belum terlihat oleh penguna lain;
    8)      Kebutuhan untuk menjadi fokus perhatian mengalahkan kesadaran privasi.
    Masalah privasi pun tidak lepas dari alasan yang ada di balik presentasi profil pengguna. Beberapa alasan psikologis dan sosial berupa kebutuhan manusia untuk memperluas dan membangun relasi, serta kebutuhan untuk diperhatikan mempengaruhi presentasi profil mereka. Ini akan dibahas pada bagian selanjutnya. Dari sisi perancangan, para perancang perlu memperhatikan hal ini dengan memberikan keleluasaan bagi pengguna untuk mengatur akses terhadap informasi pribadinya dan secara berkelanjutan mengedukasi pengguna mengenai masalah privasi.


    b.      Presentasi Diri
    Pada Situs Jejaring Sosial, pengguna mempresentasikan dirinya dalam bentuk profil yang berisi data pribadi, pesan singkat, foto, daftar teman, dan sekumpulan testimonial dari teman-temannya. Beberapa Situs Jejaring Sosial juga menyediakan fasilitas blog, video, dan rekaman suara. Bagaimana mereka mempresentasikan dirinya telah menjadi tema beberapa penelitian. Untuk menjelaskannya para peneliti telah menggunakan teori-teori ilmu sosial, perilaku, dan psikologi sebagai landasan teoritis penelitian dan dasar penjelasan bagi fenomena yang terjadi. Beberapa konsep yang digunakan, yaitu impression management, signaling theory, common ground theory, dan transaction cost theory.
    Impression management yang dikemukakan oleh Goffman (1950), menjelaskan bahwa seseorang dapat mengubah penampilan dirinya disesuaikan dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan interaksinya. Perubahan presentasi diri dimaksudkan untuk menarik perhatian dari lawan bicara atau orang-orang sekitar dan untuk menunjukkan identitas dirinya. Pada Situs Jejaring Sosial, pengguna akan berusaha membuat profilnya sebaik mungkin dan terkadang berlebih-lebihan (narcism) untuk menarik perhatian pengguna lain
    Signaling theory, menjelaskan bahwa kita, sebagai manusia, menampilkan atribut-atribut diri sebagai sinyal untuk menyatakan sesuatu dari identitas dirinya. Sinyal-sinyal yang dikirim dapat dimanipulasi oleh pengirim untuk mengkomunikasikan kualitas personal, dan diintepretasikan oleh penerima untuk menilai karakteristik pengirim. Misalnya seorang mahasiswa, sadar atau tidak sadar, berperilaku layaknya mahasiswa dan menujukkan atribut-atribut mahasiswanya ketika berada di lingkungan kampus. Pada Situs Jejaring Sosial, jika pengguna seorang penggila sepakbola maka ia akan menampilkan atribut-atribut yang berbau sepakbola. Penerima akan menangkap sinyal tersebut dan mengartikan pengguna tersebut penggemar sepak bola.
    Common ground theory, adalah teori yang menyatakan bahwa seseorang cenderung membina relasi dengan orang yang memiliki latar belakang sama. Teori ini menjelaskan pada kita bahwa dengan memasukkan berbagai informasi pribadi ke dalam profil akan membuat pengguna Situs Jejaring Sosial memiliki teman yang lebih banyak karena pengguna akan lebih banyak mendapati pengguna lain yang memiliki latar belakang sama.
    Cost theory, menjelaskan bahwa sinyal, tampilan atau informasi, yang ada pada profil dapat mengurangi biaya dalam menemukan persamaan antara pengguna sehingga membawa kepada kesepahaman. Pengurangan biaya ini dapat diwujudkan melalui penggunaan friends finder, semacam search engine, untuk menemukan pengguna lain berdasarkan kriteria profil yang diberikan. Kehadiran internet juga mengurangi biaya yang disebabkan oleh jarak dan waktu. Sebagai kontradiksi, di dunia nyata seseorang membutuhkan biaya yang lebih besar untuk mempresentasikan dirinya, memulai pembicaraan, hingga menemukan persamaan, dalam membangun suatu relasi baru.
    Teori-teori tersebut menjelaskan bagaimana pengguna Situs Jejaring Sosial mempresentasikan dirinya. Keinginan pengguna untuk membangun relasi baru, keinginan mereka untuk diperhatikan, dan keterlibatan mereka dalam Situs Jejaring Sosial, sadar atau tidak sadar, membuat mereka memberikan identitas diri sehingga rawan terhadap isu-isu privasi.
    c.       Relasi
    Isu menarik lainnya adalah isu mengenai relasi. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian 2, dua alasan mengapa orang-orang menggunakan Situs Jejaring Sosial adalah untuk menbangun relasi baru dan menjaga relasi yang sudah ada, tetapi pada kenyataannya sebagian penggunaan Situs Jejaring Sosial telah menyimpang dari maksud semula.
    Beberapa penelitian mengangkat topik pertemanan. Boyd menyatakan bahwa istilah ‘friend’ sebagai indikator pertemanan pada Friendster merupakan relasi yang biner: teman atau bukan teman. Boyd lebih detil mengkontraskan arti pertemanan yang dipegang di dunia nyata dengan pertemanan yang diterapkan di Situs Jejaring Sosial. Ia menunjukkan bahwa ‘teman’ pada Situs Jejaring Sosial telah mengaburkan arti pertemanan itu sendiri. Dia menununjukkan beberapa fakta yang mengejutkan yaitu:
    1)      Bahwa ada profil pengguna yang memiliki 127.572.764 teman. Ini menghasilkan pertanyaan apakah pertemanan adalah membangun relasi ataukah mengumpulkan atau mengoleksi teman?
    2)      Di kehidupan sehari-hari, seberapa besar usaha yang Anda keluarkan untuk membuat seseorang yang Anda tidak kenal menjadi teman Anda? Dalam Situs Jejaring Sosial ini semudah menekan tombol ‘approve’.
    3)      Di dunia kita mengenal istilah kenalan, kolega, rekan, teman, teman baik, teman dekat, dan sahabat, tetapi di Situs Jejaring Sosial hanya ada 2, yaitu teman atau bukan teman. Fono dkk. yang meneliti Situs Jejaring Sosial LiveJournal, mendukung peryataan tersebut, kemudian mengagas bahwa perancang harus memperhitungkan keanekaragaman yang ada pada relasi antara pengguna-tidak hanya biner.
    Apa yang dapat dipelajari di sini adalah bahwa teknologi yang tidak didesain dengan baik dan tidak memperhatikan pemahaman yang dipegang oleh masyarakat dapat mengaburkan bahkan mengubah pemahaman masyarakat itu sendiri, pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku mereka. Para perancang perlu memperhatikan hal ini dalam mendesain teknologi, khususnya teknologi yang akan digunakan oleh masyarakat luas.
    d.      Nilai
    Nilai adalah pegangan masyarakat atau komunitas mengenai apa yang penting, berharga untuk diperjuangkan. Nilai merupakan panduan perilaku masyarakat yang diwujudkan dalam adat-istidat, norma, dan kebiasaan. Adalah sangat menarik bahwa di komunitas jejaring sosial pun terdapat nilai-nilai sebagaimana di dunia nyata. Nilai-nilai ini memandu para pengguna Situs Jejaring Sosial dalam membangun jejaring sosial mereka menggunakan teknologi informasi. Larsen, melalui penelitiannya pada Situs Jejaring Sosial www.arto.dk di Denmark, menemukan bahwa komunitas memiliki nilai “keeping out fakers and being real”, yaitu para pengguna akan memberikan teguran untuk setiap anggota yang tidak menunjukkan identitas diri sebenarnya.
    Di Situs Jejaring Sosial lainnya, BodySpace- Situs Jejaring Sosial bagi binaragawan memiliki nilai-nilai yang jelas yang mendasari interaksinya. Nilai “Dedikasi, Determiniasi, dan Disiplin” yang mencakup latihan, nutrisi, dan instirahat, dipegang erat oleh komunitasnya. Ini tercermin pada profil dan komentar yang terdapat pada BodySpace. Slogan-slogan seperti “Train Harder, Faster. Eat Better and Feel Leaner!”, “Nothing is impossible!”, dan “If it was easy, everyone would do it.” Mengambarkan nilai yang mereka miliki. Sebagaimana komunitas lainnya mereka juga tabu membicarakan topik-topik tertentu, seperti penggunaansteroid untuk memacu perkembangan otot.
    Kontradiksi dengan dua contoh di atas, beberapa penelitian mendapati bahwa beberapa Situs Jejaring Sosial tidak memiliki nilai-nilai yang jelas. Fono dkk, menemukan bahwa kurangnya konsistensi interpretasi dan norma sosial menjadi penyebab konflik sosial dalam mengartikulasikan relasi, khususnya pada mengartikan pertemanan yang menyebabkan kesalahpahaman antarpengguna. Kurangnya regulasi norma membuat konflik ini dibiarkan terjadi.
    Tidak semua Situs Jejaring Sosial memiliki nilai-nilai yang sama. Sebagian Situs Jejaring Sosial terlihat memiliki nilai yang jelas dan tegas dan sebagian lagi samar-samar. LinkedLn sebagai Situs Jejaring Sosial yang dikhususkan bagi para profesional memiliki norma yang menghendaki agar setiap penggunanya memberikan identitas yang asli, karena kredibilitas dan kebenaran identitas penting dalam karir dan pekerjaan. Ini tidak sama dengan Friendster di mana profil palsu,  fakester, dianggap sebagai seni, hiburan, dan buah kreativitas.
    Sebagaimana nilai menjadi panduan bagi suatu komunitas, demikian pula nilai berperan dalam Situs Jejaring Sosial. Nilai yang ada pada Situs Jejaring Sosial mencerminkan maksud dari Situs Jejaring Sosial tersebut dibuat (misalnya LinkedLn dan BodySpace di atas). Ketidakjelasan dari nilai dapat membawa kepada konflik, seperti pada kasus fakester. Oleh karena itu, para pengembang Situs Jejaring Sosial perlu memperhatikan regulasi dan sosialisasi nilai dan norma untuk mengarahkan para pengguna Situs Jejaring Sosial kepada status yang dikehendaki oleh Situs Jejaring Sosial.
    e.       Budaya dan Perilaku
    Teknologi dapat mengubah perilaku dan budaya manusia. Hal yang sama juga berlaku pada Situs Jejaring Sosial. Sveningsson meneliti Situs Jejaring Sosial LunarStorm.se, Swedia. Dia menemukan adanya pergeseran budaya pada wanita pengguna Situs Jejaring Sosial. Kebiasaan konvensional komunitas perempuan seperti membicarakan hal-hal pribadi di dalam kamar mereka kini telah bergeser ke Situs Jejaring Sosial ekstensi dari kamar pribadi. Di Situs Jejaring Sosial, mereka menampilkan foto-foto pribadi dan juga memceritakan pengalaman-pengalaman pribadi mereka. Privasi kini telah mengambil tempat di publik. (http://wuawua.wordpress.com/2010/01/27/menjembatani-teori-dan-aplikasi-belajar-dari-isu-isu-situs-jejaring-sosial/ Diakses: Minggu 3 April 2011 Pukul 19.35 WIB)























    BAB III
    MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF

    A.    Kajian/Analisis tentang Keterkaitan dengan Hukum Positif
    Mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Jejaring Sosial terdapat beberapa ketentuan yang menjadi acuannya. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Rancangan Undang-Undang ini antara lain sebagaimana tersebut dalam table di bawah ini.
    Tabel:
    Peraturan Perundang-undangan terkait dengan Jejaring Sosial
    No.
    Peraturan Perundang-Undangan
    Materi Terkait
    (1)
    (2)
    (3)
    1.
    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    Pasal 28F menyebutkan :
    Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
    2.
    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Keterbukaan Publik.
    Pasal 4 ayat (1) menyebutkan:
    Setiap orang berhak memperoleh informasi publik sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
    3.
    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

    Pasal 14 Ayat (1) menyebutkan:
    Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya
    (Sumber: Data diolah dari berbagai peraturan perundang-undangan, 2011)
    Dari pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 4 ayat(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Keterbukaan Publik, dan Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia tersebut berisikan tentang hak seseorang dalam berkomunikasi. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, setiap orang diakui haknya untuk memperoleh inforfomasi dan berkomunikasi. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal. Komunikasi juga dapat dilakukan melalui media jejaring sosial, sehingga melalui media ini masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh informasi.

    B.     Materi Muatan Rancangan Undang-Undang
    Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan analisis hukum tersebut pada Bab-bab terdahulu maka, materi muatan naskah akademik yang disusun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jejaring Sosial, dituangkan dalam bentuk ketentuan umum yang memuat istilah-istilah/ pengertian-pengertian dan materi muatan konsepsi, pendekatan dan asas-asas dari materi hukum sebagai berikut :
    1.      Ketentuan Umum
    a.       Jejaring sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dan lain-lain.
    b.      Dunia maya (Cyber space) atau dunia semu yaitu sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang menawarkan realitas yang baru berbentuk virtual (tidak langsung dan tidak nyata).
    c.       Facebook adalah sebuah web jejaring sosial yang memungkinkan para pengguna dapat menambahkan profil dengan foto, kontak, ataupun informasi personil lainnya dan dapat bergabung dalam komunitas untuk melakukan koneksi dan berinteraksi dengan pengguna lainnya.
    d.      Twitter adalah suatu situs web layanan jaringan sosial dan mikroblog yang memberikan fasilitas bagi pengguna untuk mengirimkan “pembaharuan” berupa tulisan teks dengan panjang maksimum 140 karakter melalui SMS, pengirim pesan instan, surat elektronik, atau aplikasi seperti Twitterrific dan Twitbin.
    e.       Friendster adalah sebuah situs web jaringan sosial dimana seorang pengguna akan membuat identitas maya dan kemudian mengisi data dirinya untuk kemudian mendapatkan account di friendster.
    f.       Myspace adalah sebuah situs web jaringan sosial hampir mirip dengan friendster. Hanya fiturnya jauh lebih lengkap.
    g.      Multiply adalah suatu situs web layanan jaringan sosial yang memadukan layanan blog, file I media sharing dengan jejaring di
    dalamnya lebih terasa dibandingkan friendster, facebook ataupun Myspace. Fitur-fitur yang disediakan multiply antara lain sharing blog, musik, foto, vidio, link, dan lain-lain.
    h.      Akses adalah perbuatan memasuki, memberikan instruksi atau melakukan komunikasi dengan fungsi logika, aritmatika, atau memori dari komputer,  sistem komputer, atau jaringan komputer.
    i.        Situs Internet adalah suatu lokasi di dalam Internet yang digunakan untuk menempatkan Data Elektronik atau aplikasi Internet yang dapat diakses oleh pengguna Internet.
    j.        Sandi Akses (password) adalah angka, karakter, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer, sistem komputer, jaringan komputer, Internet, atau media elektronik lainnya.
    k.      Privasi adalah hak individu untuk mengendalikan penggunaan informasi tentang identitas pribadi baik oleh dirinya sendiri atau oleh pihak lainnya.
    l.        Pemakai adalah orang, badan usaha, badan hukum, atau instansi pemerintah yang menggunakan layanan teknologi informasi yang tidak berdasarkan kontrak.
    m.    Pengguna adalah pelanggan dan pemakai.
    n.      Pengirim adalah seseorang yang mengirim, meneruskan, menyimpan, atau menyalurkan setiap pesan elektronik atau menjadikan setiap pesan elektronik dapat dikirim, disimpan, atau disalurkan kepada orang lain.
    o.      Penerima adalah seseorang yang menerima atau dimaksudkan untuk menerima data elektronik  dari pengirim.
    p.      Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
    q.      Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disaj ikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik atau pun nonelektronik.
    r.        Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
    s.       Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
    t.        Komputer adalah setiap alat pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.  
    u.      Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik warga Negara Indonesia maupun warga Negara asing, atau badan hukum.
    v.      Mediasi adalah penyelesaian sengketa jejaring sosial antara para pihak melalui bantuan mediator.
    w.    Mediator adalah orang yang ditunjuk untuk memediasi dalam menyelesaikan sengketa jejaring sosial.



    2.      Ketentuan Asas dan tujuan:
    a.       Asas-asas
    Pemanfaatan Jejaring Sosial dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, kemanfaatan, kehati-hatian dan itikad baik, dengan mengutamakan kepentingan nasional, persatuan dan kesatuan, menghormati ketertiban umum, kesusilaan, serta menjunjung tinggi etika.
    b.      Tujuan
    Tujuan adanya Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang tentang Jejaring Sosial yaitu :
    1)      untuk mengatur masyarakat dalam memanfaatkan layanan jejaring sosial.
    2)      memberi batasan-batasan kepada masyarakat mengenai etika menggunakan situs jejaring sosial.
    3)      memberi kenyamanan kepada masyarakat kepada masyarakat dalam menggunakan situs jejaring sosial sebagai sarana berkomunikasi di dunia maya.
    4)      mendukung persatuan dan kesatuan bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
    5)      mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
    6)      mendukung perkembangan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional;
    7)      memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk mengembangkan pemikiran dan kemampuannya di bidang teknologi informasi secara optimal dan bertanggung jawab dalam rangka menghadapi perkembangan teknologi informasi dunia;
    8)      memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

    3.      Materi Pengaturan:
    a.       Jenis-jenis  Jejaring Sosial
    Jejaring sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dan lain-lain.
    Jenis-jenis jejaring sosial diantaranya adalah sebagai berikut:
    1)      Facebook adalah sebuah web jejaring sosial yang memungkinkan para pengguna dapat menambahkan profil dengan foto, kontak, ataupun informasi personil lainnya dan dapat bergabung dalam komunitas untuk melakukan koneksi dan berinteraksi dengan pengguna lainnya;
    2)      Twitter adalah suatu situs web layanan jaringan sosial dan mikroblog yang memberikan fasilitas bagi pengguna untuk mengirimkan “pembaharuan” berupa tulisan teks dengan panjang maksimum 140 karakter melalui SMS, pengirim pesan instan, surat elektronik, atau aplikasi seperti Twitterrific dan Twitbin;
    3)      Friendster adalah sebuah situs web jaringan sosial dimana seorang pengguna akan membuat identitas maya dan kemudian mengisi data dirinya untuk kemudian mendapatkan account di friendster;
    4)      Myspace adalah sebuah situs web jaringan sosial hampir mirip dengan friendster. Hanya fiturnya jauh lebih lengkap;
    5)      Multiply adalah suatu situs web layanan jaringan sosial yang memadukan layanan blog, file I media sharing dengan jejaring di dalamnya lebih terasa dibandingkan friendster, facebook ataupun Myspace. Fitur-fitur yang disediakan multiply antara lain sharing blog, musik, foto, vidio, link, dan lain-lain;
    6)      Dan jenis-jenis jejaring sosial lainnya.
    b.      Peran Jejaring Sosial
    Peran Jejaring Sosial bagi masyarakat antara lain:
    1)      Sebagai sarana komunikasi di dunia maya;
    2)      Sebagai sarana bagi masyarakat untuk mewujudkan persatuan Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
    3)      Sebagai sarana untuk memperoleh informasi dan media bagi mayarakat untuk mengemukakan pendapat dan kebebasan  berfikir;
    4)      Untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan memiliki keadilan yang merata.
    c.       Fungsi Jejaring Sosial
    Fungsi Jejaring Sosial bagi masyarakat antara lain:
    1)      Sebagai media iklan dalam memasarkan maupun menawarkan suatu produk kepada mayarakat;
    2)      Sebagai media untuk berkomunikasi bagi individu atau kelompok masyarakat tertentu melalui grup-grup tertentu;
    3)      Sebagai sarana sosialisasi program-program suatu lembaga atau kelompok masyarakat tertentu.

    d.      Hak dan Kewajiban Pengguna Jejaring Sosial
    Hak pengguna Jejaring Sosial:
    1)      Setiap orang berhak membuat, memiliki secara pribadi, menuliskan, membuka akun jejaring sosial;
    2)      Setiap orang berhak memperoleh Informasi yang ada di dalam jejaring sosial miliknya;
    3)      Setiap pengguna jejaring sosial berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam menggunakan jejaring sosial mendapat hambatan atau tindakan-tindakan yang dilarang dalam Undang-Undang ini.
    Kewajiban pengguna Jejaring Sosial:
    1)      Pengguna jejaring sosial wajib menggunakan sarana jejaring sosial sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan;
    2)      Pengguna situs jejaring sosial wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang apabila terjadi tindak pidana dalam penggunaan jejaring sosial.
    e.       Larangan-Larangan
    Dalam menggunakan  jejaring sosial setiap orang maupun masyarakat dilarang:
    1)      Menyebarkan berita-berita fitnah/bohong kepada orang lain maupun publik;
    2)      Menggunakan kata-kata maupun kalimat yang mengandung unsur penghinaan;
    3)      Menggunakan kata-kata maupun kalimat yang mengandung pelecehan terhadap SARA;
    4)      Menggunakan media jejaring sosial sebagai sarana untuk perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;
    5)      Menggunakan sarana jejaring sosial untuk melakukan penipuan atau merugikan hak orang lain;
    6)      Menipu, menghasut, memfitnah, menjatuhkan nama baik seseorang atau organisasi;
    7)      Menyebarkan gambar, tulisan atau kombinasi dari keduanya yang mengandung sifat – sifat pornografi;
    8)      Membantu terjadinya percobaan, atau persekongkolan yang menjurus pada kejahatan;
    9)      Menyalahgunakan jejaring sosial untuk maksud tertentu sehingga menimbulkan melanggar hak orang lain.
    f.       Peran Pemerintah dan Masyarakat
    Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Jejaring Sosial sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undang; Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Jejaring Sosial yang mengganggu ketertiban umum dan kesusilaan sesuai dengan ketentuan Peraturan Undang-undang.
    Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Jejaring Sosial melalui penggunaan dan penyelenggaraan sistem jejaring sosial sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

    g.      Tata Cara Gugatan  Atas Pelanggaran Penggunaan Jejaring Sosial
    Setiap orang atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak memanfaatkan jejaring sosial yang mengakibatkan kerugian bagi yang bersangkutan.
    Gugatan sebagaimana dimaksud diajukan kepada Pengadilan Negeri. Hakim atas permohonan penggugat dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan jejaring social yang mengakibatkan kerugian pada pihak lainnya selama dalam proses pemeriksaan untuk mencegah kerugian yang lebih besar.

    h.      Yurisdiksi
    Undang-Undang ini berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk setiap orang di luar Indonesia yang melakukan tindak pidana di bidang teknologi yang diakibatkan oleh Jejaring Sosial yang akibatnya dirasakan di Indonesia.
    Pengadilan di Indonesia berwenang mengadili setiap tindak pidana di bidang teknologi yang diakibatkan oleh Jejaring Sosial yang dilakukan oleh setiap orang, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia yang akibatnya dirasakan di Indonesia.

    i.        Penyidik
    Penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, terhadap tindak pidana jejaring sosial, selain diberlakukan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang bersifat umum, juga diberlakukan ketentuan hukum acara menurut Rancangan Undang-Undang tentang Jejaring Sosial, tentang penyidikan.
    Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam hukum acara pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat ditafsirkan bahwa kegiatan penyidikan terhadap tindak pidana jejaring sosial, termasuk upaya paksa harus menurut hukum acara Rancangan Undang-Undang tentang Jejaring Sosial, yang besifat khusus. Sebagaimana ketentuan penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang bersifat umum.
    Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan pemerintah, yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang teknologi diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang teknologi jejaring sosial.
    Penyidikan di bidang teknologi jejaring sosial dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan jejaring sosial, integritas data, atau keutuhan data, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Penggeledahan dan /atau penyitaan terhadap sistem jejaring sosial yang terkait dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.
    Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud, penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
    Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud, berwenang:  
    1)      Menerima laporan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
    2)      Memanggil setiap orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkait dengan ketentuan Undang-Undang ini;
    3)      Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
    4)      Melakukan pemeriksaan terhadap orang dan/atau badan usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
    5)      Meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
    6)      Mengadakan penghetian penyidikan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini, sesuai dengan ketentua hukum acara pidana yang berlaku.
    Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada penuntut umum.

    j.        Upaya Hukum Terhadap Putusan
    Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi dan Peninjauan Kembali.  Terhadap putusan Pengadilan negeri yang berlum mempunyai kekuatan hukum tetap dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sedangkan terhadap putusan Pengadilan Negeri yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan Kasasi atau peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
    1)      Upaya Hukum Banding
    a)      Pada dasarnya setiap putusan mengenai pokok perkara yang bukan pembebasan dan lepas dari tuntutan hukum mengenai masalah kurang tepatnya penerapan hukum oleh pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri), dapat diajukan upaya banding oleh penasihat hukum atau penuntut umum;
    b)      Jangka waktu Banding adalah dalam waktu 7 (tujuh hari) hari sejak diucapkannya putusan;
    c)      Permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri;
    2)      Upaya Hukum Kasasi
    a)      Putusan yang dapat dilawan dengan upaya kasasi adalah semua putusan terakhir, selain putusan Mahkamah Agung yang amarnya bukan pembebasan;
    b)      Jangka waktu kasasi adalah dalam waktu 14  (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan vonis harus menandatangani pernyataan kasasi di Kantor Kepaniteraan yang memutus pertama kali. Permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri.
    3)      Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)
    a)      Upaya Peninjauan kembali dapat diajukan ke Mahkamah Agung hanya oleh terpidana atau ahli warisnya dengan ketentuan sebagai berikut;
    b)      Diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
    c)      Dengan alasan:
    (1)     Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berubah: putusan bebas; putusan lepas dari tuntutan hukum; tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
    (2)     Apabila dalam putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan atau putusan yang dinyatakan telah terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang lain;
    (3)     Apabila putsan itu memperlihatkan suatu kekhilafan hakim dengan jelas atau suatu kekeliruan yang nyata.
    d)     Pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali berkekuatan hukum tetap;
    e)      Permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri;
    f)       Panitera Pengadilan Negeri mendaftarkan permohonan peninjauan kembali pada tanggal permohonan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama seperti tanggal permohonan didaftarkan;
    g)      Panitera menyampaikan permohonan peninjauan kembali kepada Panitera Mahkamah Agung dalam jangka waktu 1 (satu) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan.

    k.      Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan
    Selain penyelesaian gugatan perdata, para pihak dapat menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi melalui arbitrase atau penyelesaian sengketa alternatif. Sengketa perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui penyelesaian sengketa alternatif berdasarkan itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan.
    Penyelesaian sengketa melalui penyelesaian sengketa alternative dilakukan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari. Kemudian hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis yang ditandatangani para pihak. Apabila penyelesaian  tidak terlaksana para pihak dapat menunjuk seorang atau lebih penasehat ahli. Apabila dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari penasehat ahli tidak dapat menyelesaikan sengketa atau tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak maka para pihak dapat menunjuk seorang mediator. Mediator harus telah melaksanakan tugasnya dan memulai upaya mediasi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penunjukkan mediator.
    Usaha penyelesaian sengketa melalui mediator sebagaimana dilaksanakan dengan memegang teguh kerahasiaan dan harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani para pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)  hari. Kesepakatan melalui mediator bersifat final dan mengikat dan harus dilaksanakan dengan itikad baik serta didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan dan kesepakatan tersebut wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran. Apabila usaha penyelesaian sengketa alternatif melalui mediator tidak tercapai para pihak berdasarkan kesepakatan tertulis dapat mengajukan sengketanya melalui arbitrase.

    4.      Ketentuan Pidana
    Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum dengan menggunakan sarana jejaring social untuk melakukan perbuatan yang dilarang seperti yang dimaksud Pasal 8 diancam dengan ancaman pidana 4 (empat)  tahun dan denda Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

    5.      Ketentuan penutup
    Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
    BAB IV
    PENUTUP

    A.    Kesimpulan
    1. Bahwa berdasarkan uraian dalam bab-bab terdahulu dari Naskah Akademik ini, maka penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Jejaring Sosial adalah memiliki kelayakan secara akademis.
    2. Bahwa untuk memenuhi legalitas Jejaring Sosial perlu ditetapkan dengan Undang-Undang yang di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan minimal sebagai berikut:
    a.       Bab I   :  Ketentuan Umum;
    b.      Bab II  :  Ketentuan Asas dan tujuan;
    c.       Bab III            :  Materi Pengaturan;
    d.      Bab IV :  Ketentuan Pidana;
    e.       Bab V  :  Ketentuan Penutup.
    B.     Saran
    1. Mengingat pentingnya Undang-Undang ini sebagai memberikan pijakan dan landasan hukum yang kuat kepada pemerintah pusat dalam melaksanakan kebijakan terkait Jejaring Sosial, maka disarankan untuk segera disusun/dibentuk Undang-Undang tentang Jejaring Sosial.
    2. Supaya dalam menyusun regulasi Undang-Undang tentang Jejaring Sosial di atas perlu memperhatikan nilai-nilai budaya dan kearifan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    0

    Tambahkan komentar


  7. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang
                Era globalisasi ditandai dengan berkembangnya komunikasi, perdagangan antar negara dan transportasi lintas negara dalam sekejap mata. Dengan demikian Era globalisasi menyebabkan batas-batas negara menjadi kabur yaitu Antar negara satu dengan negara yang lain seolah tidak dapat dibedakan dengan dinding pemisah. Era globalisasi selalu metuntut sesuatu yang baru secara cepat. Oleh karena itu suatu negara dituntut untuk selalu menguras pikiran untuk survive, sehingga dengan demikian akan berpengaruh pada sistem pemikiran dan pola perilaku setiap negara untuk dapat mempertahankan diri dalam persaingan globalisasi. Lebih dari itu, sistem peradilan pun pada akhirnya juga akan mengikuti arus globalisasi ini.
                Banyak negara, khususnya negara berkembang, harus menyesuaikan diri dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan internasional, yakni masuknya perusahaan-perusahaan asing (multinasional). Kondisi ini ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrumen badan peradilan di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997 menimbulkan kesulitan besar bagi perekonomian nasional, terlebih lagi muncul kondisi sebagian pelaku usaha atau debitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para lembaga pembiayaan/kreditor. Untuk mengatasi penyelesaian utang-utang perusahaan tersebut, pemerintah atas tekanan International Monetary Fund (IMF) melakukan revisi terhadap Undang-Undang Kepailitan (Failisements-Verordening Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348). IMF merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan kurang dapat memenuhi tuntutan zaman. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan pada 24 Juli 1998. Dengan Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tersebut, Pengadilan Niaga untuk pertama kali sebagaimana yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 yang berbunyi: untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini, Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan demikian, pembentukan Pengadilan Niaga merupakan suatu implementasi dari bentuk pengadilan khusus yang berada di bawah Lingkungan Peradilan Umum (Jono, 2008: 82). Selanjutnya berdasarkan Keppres Nomor 97 tahun 1999, 18 Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan, dan Semarang. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat.
    Belakangan ini eksistensi Pengadilan Niaga disorot kuat, antara lain karena terjadi penurunan jumlah perkara yang masuk. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Kepailitan, para pelaku ekonomi memperkirakan sedikitnya ada 1800 perusahaan di Indonesia yang akan dikenai proses kepailitan. Kenyataannya, setelah setahun Undang-Undang Kepailitan diberlakukan, kasus kepailitan tidak lebih dari 100 dan dari data statistik tahun 1998-1999, permohonan pailit hanya 29 persen yang dikabulkan. Berdasarkan data hasil rekapitulasi yang dilakukan Bappenas, jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga pada periode 1998-2002 terbanyak di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yaitu sejumlah 315 perkara. Di Pengadilan Niaga Surabaya hanya ada 11 perkara, sementara di Pengadilan Niaga Semarang hanya lima perkara. Dari jumlah tersebut, yang berhasil diputus Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebanyak 308 perkara. Yang diputus Pengadilan Niaga Surabaya sebanyak sembilan perkara dan yang diputuskan pengadilan niaga Semarang lima perkara.
    Penurunan ini mencemaskan, mengingat Pengadilan Niaga juga ditujukan untuk menyelesaikan masalah lain di bidang perniagaan lainnya dan telah diberikan beberapa sifat khusus. Artinya, sejak awal Pengadilan Niaga dirancang untuk diperluas kompetensinya. Saat ini perluasan kompetensi itu mencakup kewenangan untuk memeriksa masalah-masalah yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yang meliputi kewenangan memeriksa sengketa merek, paten, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Namun pada kenyataannya Pengadilan Niaga tidak menjadi tempat pemeriksa perkara yang diistimewakan oleh para pencari keadilan layaknya sifat istimewa yang melekat pada Pengadilan Niaga tersebut. Ada apa sebenarnya dibalik menurunnya perkara yang masuk pada Pengadilan Niaga? Pertanyaan tersebut menarik perhatian kami untuk menulis  judul Faktor Penyebab Surutnya Eksistensi Pengadilan Niaga Di Era Globalisasi.

    B. Rumusan Masalah
    Apakah Faktor Penyebab Surutnya Eksistensi Pengadilan Niaga di Era Globalisasi serta Bagaimanakah Faktor-Faktor tersebut dapat Berpengaruh pada Eksistensi Pengadilan Niaga Di Era Globalisasi?

    PEMBAHASAN

    Faktor Penyebab Surutnya Eksistensi Pengadilan Niaga di Era Globalisasi dan cara mempengaruhinya.

    Eksistensi Pengadilan Niaga telah ada sejak tahun 1998 setelah Pemerintah  mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan pada 24 Juli 1998 sebagai akibat desakan dari IMF untuk menyelesaikan permasalahan utang Indonesia di tahun 1997.
    Melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tersebut, Pengadilan Niaga untuk pertama kali sebagaimana yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 yang berbunyi: untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini, Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan demikian, pembentukan Pengadilan Niaga merupakan suatu implementasi dari bentuk pengadilan khusus yang berada di bawah Lingkungan Peradilan Umum.
    Selanjutnya berdasarkan Keppres Nomor 97 tahun 1999, 18 Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan, dan Semarang. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat. Saat ini pengaturan tentang Pengadilan Niaga telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dimana Pada dasarnya Acara yang berlaku pada Pengadilan Niaga adalah Hukum Acara Perdata (HIR/ RBg) sebagaimana yang diberlakukan pada Pengadilan Negeri, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang Kepailitan (Pasal 299 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), namun hukum Acara pengadilan Niaga mempunyai beberapa sifat istimewa yang melekat padanya diantaranya:


    a. Acara dengan surat/ tulisan
    Beracara di muka Pengadilan Niaga dengan surat/ tulisan. Berbeda dengan acara pengadilan Negeri yang dimungkinkan beracara secara lisan (Pasal 120 HIR)

    b. Kewajiban dengan bantuan ahli/ penasihat hukum
                Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mewajibkan bantuan seorang ahli hukum/ penasihat hukum untuk beracara di muka pengadilan Niaga, dengan pertimbangan bahwa proses pemeriksaan kepailitan memrlukan pengetahuan hukum dan kecakapan teknis, sedangkan beracara di Pengadilan Negeri tidak diwajibkan menggunakan bantuan ahli hukum.

    c. Pembuktian secara sederhana
                Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit baru dapat dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa permohonan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana adalah pembuktian yang lazim disebut pembuktian secara sumier dan dalam konteks ini pemohon harus membuktikan:
    -          Adanya fakta atau keadaan bahwa termohon telah tidak membayar utangnya
    -          Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih
    -          Adanya dua atau lebih kreditor

    d. Waktu pemeriksaan (sidang) terbatas
                Tenggang-tenggang waktu proses penerimaan dan pemeriksaan permohonan pernyataan pailit telah diatur secara tegas dan pasti sebagai upaya penyelesaian secara cepat, adil, terbuka, efektif.
    -          Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus ditetapkan dalam waktu paling lama 60 hari sejak tanggal permohonan didaftarkan (Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
    -          Putusan dalam perkara paten ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 180 hari terhitung sejak tanggal permohonan paten didaftarkan (Pasal 121 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001)
    -          Putusan pembatalan merek ditetapkan paling lambat 90 hari sejak permohonan merek didaftarkan (Pasal 80 ayat (8) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001)

    e. Putusan Pengadilan Niaga bersifat serta (Uit Voerbaar Bij Vorraad)=UVB)
                Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa Putusan atas permohonan pernyataan pailit dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum.

    f. Perkara Kepailitan dengan Klausula Arbitrase
                Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terkait perjanjian yang memuat klausula arbitrase. Dalam hal ini berarti Pengadilan Niaga bersifat ekstra yudisial sehingga dapat menangani perkara tertentu.

    g. Upaya Hukum
    -          Terhadap putusan Pengadilan Niaga pada tingkat pertama yang menyangkut permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
    -          Terhadap putusan pengadilan Niaga dalam Permohonan PKPU tidak terbuka upaya hukum (Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
    -          Terhadap putusan pengadilan Niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan Peninjauan Kembali ke MA (Pasal 14 ayat (1) jo. 295 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
    (Harjono, 2010: 4-5)

    Berhasil atau tidaknya suatu penerapan hukum tergantung pada Undang-Undang pengaturnya. Suatu Undang-Undang pengatur harus mencakup adanya kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Untuk itu, apabila ketiga pilar tersebut tidak tercakup dalam Undang-Undang pengatur maka patut dipertanyakan akan kesuksesan objek yang diatur.
    Pernyataan serupa berlaku untuk seluruh pengaturan, termasuk Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang  yang walaupun telah diberikan beberapa sifat keistimewaan dan kelebihan namun tak lepas dari masih banyaknya kelemahan dalam pengaturannya sehingga tidak mampu mencakup ketiga pilar penting yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum, sehingga menjadi suatu faktor penyebab yang berpengaruh pada surutnya eksistensi Pengadilan Niaga di Era Globalisasi yang terbukti dengan menurunnya kasus yang masuk ke dalam Pengadilan Niaga.
    Surutnya eksistensi Pengadilan Niaga dapat dibuktikan dengan menurunnya perkara yang masuk pada Pengadilan Niaga. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Kepailitan, para pelaku ekonomi memperkirakan sedikitnya ada 1800 perusahaan di Indonesia yang akan dikenai proses kepailitan. Kenyataannya, setelah setahun Undang-Undang Kepailitan diberlakukan, kasus kepailitan tidak lebih dari 100 dan dari data statistik tahun 1998-1999, permohonan pailit hanya 29 persen yang dikabulkan. Padahal Pengadilan Niaga juga ditujukan untuk menyelesaikan masalah lain di bidang perniagaan lainnya dan telah diberikan beberapa sifat khusus. Artinya, sejak awal Pengadilan Niaga dirancang untuk diperluas kompetensinya. Saat ini perluasan kompetensi itu mencakup kewenangan untuk memeriksa masalah-masalah yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yang meliputi kewenangan memeriksa sengketa merek, paten, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 149).
    Berdasarkan data hasil rekapitulasi yang dilakukan Bappenas, jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga pada periode 1998-2002 terbanyak di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yaitu sejumlah 315 perkara (Tabel 1). Di Pengadilan Niaga Surabaya hanya ada 11 perkara, sementara di Pengadilan Niaga Semarang hanya lima perkara. Dari jumlah tersebut, yang berhasil diputus Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebanyak 308 perkara. Yang diputus Pengadilan Niaga Surabaya sebanyak sembilan perkara dan yang diputuskan pengadilan niaga Semarang lima perkara.

    Tabel 1
    REKAPITULASI JUMLAH PERKARA NIAGA
    Periode Tahun 1998-2002

    No.
    Pengadilan Niaga
    Jumlah Perkara
    Masuk
    Putus
    Cabut
    Kabul
    Kasasi
    PK
    1
    Jakarta Pusat
    315
    308
    60
    103
    168
    99
    2
    Surabaya
    11
    9
    2
    4
    4
    2
    3
    Semarang
    5
    5
    0
    3
    3
    0

    Sumber:   Diolah dari hasil survey penelitian mengenai pengadilan niaga, kerjasama Komisi Hukum Nasional dan Universitas Andalas, Tahun 2002 (diani@bappenas.go.id)

    Di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terjadi penurunan jumlah perkara yang masuk. Pada tahun 1999 terdapat 100 perkara. Tahun berikutnya menurun jadi 84 perkara dan tahun 2001 menurun lagi menjadi 61 perkara. Dan pada tahun 2002 tinggal 39 perkara.


    Penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain seperti survey berikut:

    Tabel 2
    PENYEBAB TURUNNYA JUMLAH PERKARA NIAGA
    DI PENGADILAN NIAGA

    No.
    Faktor Penyebab Turunnya jumlah Perkara
    Hakim
    Pengacara/
    Konsultan Hukum
    1.
    Tidak Puas atas Hasil Putusan
    1
    5
    2.
    Hasil Putusan Tidak Mencerminkan asas Keadilan
    1
    5
    3.
    Tidak ada informasi mengenai perluasan yurisdiksi
    Pengadilan Niaga ke bidang HaKI
    0
    4
    4.
    Prosedur yang Berbelit-belit
    1
    2
    5.
    Kuasa Hukum atau Advokat Lebih Memilih Pengadilan
    Negeri
    0
    3
    6.
    Lainnya (Kemungkinan dipilih ADR)
    3
    0

    Sumber:   Diolah dari hasil survey penelitian mengenai pengadilan niaga, kerjasama Komisi Hukum Nasional dan Universitas Andalas, Tahun 2002 (diani@bappenas.go.id)

    Dari segi yuridis, penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga disebabkan oleh ketidakpuasan para pencari keadilan akan kinerja lembaga tersebut. Menurut survei yang dilakukan tim peneliti diatas, kemungkinan terbesar yang menyebabkan turunnya jumlah perkara yang ditangani Pengadilan Niaga adalah ketidakpuasan terhadap hasil putusan dan adanya hasil putusan yang tidak mencerminkan asas keadilan (Tabel 2). Kemungkinan terkecil adalah akan dipilihnya Pengadilan Negeri sebagai pengganti Pengadilan Niaga. Kemungkinan yang terakhir ini kecil karena perkara kepailitan dan HaKI merupakan wewenang penuh Pengadilan Niaga. Selain itu masih ada ketidakpercayaan yang cukup besar dari responden terhadap kinerja Pengadilan Negeri.

    Faktor penyebab surutnya eksistensi Pengadilan Niaga antara lain dan cara berpengaruhnya:
    a. Tidak Puas atas Hasil Putusan
    Dalam hukum acara perkara kepailitan terdapat terobosan waktu berperkara yang sangat cepat. Dari waktu yang biasanya dua sampai dengan empat tahun berperkara melalui Pengadilan Negeri (dari gugatan di Pengadilan Negeri sampai dengan upaya khusus Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung), turun drastis menjadi 154 hari. Dengan perincian; maksimal waktu 30 hari untuk memutuskan permohonan kepailitan di tingkat Pengadilan Niaga  maksimal waktu 30 hari untuk memutuskan permohonan Kasasi di tingkat Kasasi dan maksimal 30 hari untuk memutuskan permohonan upaya hukum khusus Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Selebihnya adalah perhitungan waktu pendaftaran permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. Namun dalam beberapa kasus, para hakim niaga, khususnya majelis hakim tingkat Mahkamah Agung tampaknya kurang memperhatikan jangka waktu tersebut, seperti dalam beberapa putusan, majelis hakim kasasi ataupun Peninjauan Kembali memberikan putusan pailit melebihi jangka waktu yang telah ditetapkan, tanpa akibat hukum apapun.
     Contohnya:
    kasus Bank Niaga Tbk. Cs lawan Dharmala Agrifood Tbk. No. 7/K/N/1998. Dalam perkara ini Majelis Hakim Kasasi memutuskan permohonan kasasi tersebut dalam waktu 40 hari.
    Jawaban majelis hakim terhadap keberatan yang diajukan pemohon kasasi terhadap ketidakdisiplinan waktu tersebut adalah:  “Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan karena tidak ada sanksi hukum yang menentukan bahwa putusan menjadi tidak sah, batal atau dapat dibatalkan apabila putusan kasasi diucapkan melampaui jangka waktu 30 hari...” (diani@bappenas.go.id)

    Dengan demikian, berdasarkan sedemikian kasus, para pemohon tidak puas atas hasil putusan dimana tanpa menghasilkan akibat hukum apapun namun membutuhkan waktu yang lama yang melampaui batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Kepailitan.

    b. Hasil Putusan Tidak Mencerminkan asas Keadilan
    Putusan-putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung dalam perkara kepailitan ternyata mencerminkan inkonsistensi dalam penerapan hukum kepailitan, yang pada akhirnya melahirkan ketidakpastian hukum. Sampai saat ini Pengadilan Niaga belum mampu melakukan paksaan terhadap debitor yang tidak mematuhi putusan pengadilan, sehingga banyak debitor yang lepas dari jerat kepailitan. Pasal 84 Undang-Undang Kepailitan yang memungkinkan dilakukannya Gijzelling (lembaga paksa) terhadap debitor, sampai saat ini tidak dapat dilaksanakan. Berbagai alasan dikemukakan atas ketidaksediaan pengadilan untuk mengaktifkan pasal 84 tersebut. Akibatnya sampai saat ini para pencari keadilan semakin tidak percaya bahwa status pailit debitor akan membuat kreditor lebih mudah meminta pelunasan tagihannya dari aset debitor yang dipailitkan.
    Selain itu, Pasal 10 Undang-Undang Kepailitan memungkinkan diletakkannya sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan kreditor. Prosedur permintaan dan penetapan sita jaminan dalam kepailitan memang mengacu pada ketentuan pasal 10 Undang-Undang Kepailitan. Dalam prakteknya, pemohon pailit biasanya memang meminta kepada Pengadilan Niaga terhadap kekayaan Termohon pailit diletakkan sita jaminan.
    Namun dalam prakteknya pula, permintaan sita jaminan tersebut tidak pernah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Karena, pertama, acara pemeriksaan di Pengadilan Niaga berlangsung dengan acara sumir (sederhana) dan waktunya singkat (dalam 30 hari harus sudah ada putusan). Tanpa prosedur sita jaminan saja, proses persidangan dan pemeriksaan perkara kepailitan sudah sangat “mepet” waktunya. Kedua, hakekat dari pernyataan pailit sendiri adalah sitaan umum terhadap harta benda debitur yang ada sekarang maupun di masa yang akan datang. Oleh karena itu, tanpa meminta sita jaminan pun, apabila debitur dinyatakan pailit maka otomatis pernyataan tersebut merupakan sitaan umum dan tidak perlu lagi meminta sita jaminan ke pengadilan negeri.
     Jadi permohonan pailit yang disertai permintaan sita jaminan selama ini tidak pernah ada yang dikabulkan oleh Majelis Pengadilan Niaga karena mereka beranggapan seandainya nanti debitur dinyatakan pailit, maka otomatis seluruh harta benda debitur menjadi sitaan umum yang digunakan untuk melunasi utangnya kepada kreditur-krediturnya. Permohonan sita jaminan dalam proses kepailitan adalah sebelum putusan pailit di jatuhkan. Ratio legis (logika ketentuan) dari norma ini adalah agar dalam proses kepailitan sebelum putusan dijatuhkan harta yang dimiliki debitor pailit tidak dialihkan atau ditransaksikan.
    Akan tetapi dalam prtakteknya, pada saat dilakukan sita jaminan, seluruh harta yang dimiliki debitor sudah tidak ada semua, karena kemungkinan sudah dialihkan atau ditransaksikan, sehingga hal tersebut bisa merugikan kreditor nantinya. Oleh karena itu, pada perkembangannya sekarang ini, masyarakat jarang mengajukan perkara kepailitan. Undang-undang Kepailitan dirasa sudah tidak dapat mengakomodir persoalan-persoalan berkaitan dengan kepailitan lagi.

    c. Prosedur yang Berbelit-belit
                Seperti tertera dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mewajibkan bantuan seorang ahli hukum/ penasihat hukum untuk beracara di muka pengadilan Niaga, dengan pertimbangan bahwa proses pemeriksaan kepailitan memerlukan pengetahuan hukum dan kecakapan teknis. Dengan demikian terlihat bahwa permasalahan yang dihadapi terkait kepailitan atau yang termasuk dalam kompetensi absolut Pengadilan Niaga itu sangat kompleks. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan prosedurnya menjadi berbelit-belit (misal: penyiapan surat-surat yang banyak) sehingga membuat susah pemohon.

    d. Kemungkinan dipilih ADR atau Pengadilan Negeri
    Kemungkinan terkecil dari penyebab surutnya eksistensi Pengadilan Niaga adalah akan dipilihnya ADR atau Pengadilan Negeri sebagai pengganti Pengadilan Niaga karena berbagai ketidakpuasan yang ada dalam Pengadilan Niaga seperti tersebut diatas. Dengan harapan jika tidak melalui Pengadilan Niaga maka masih terdapat banyak upaya hukum yang akan diupayakan, namun Kemungkinan yang terakhir ini kecil karena perkara kepailitan dan HaKI merupakan wewenang penuh Pengadilan Niaga.

    KESIMPULAN

    Eksistensi Pengadilan Niaga telah ada sejak tahun 1998 setelah Pemerintah  mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan pada 24 Juli 1998 sebagai akibat desakan dari IMF untuk menyelesaikan permasalahan utang Indonesia di tahun 1997.
    Melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tersebut, Pengadilan Niaga untuk pertama kali sebagaimana yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 yang berbunyi: untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini, Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan demikian, pembentukan Pengadilan Niaga merupakan suatu implementasi dari bentuk pengadilan khusus yang berada di bawah Lingkungan Peradilan Umum.
    Saat ini pengaturan tentang Pengadilan Niaga telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dimana Pada dasarnya Acara yang berlaku pada Pengadilan Niaga adalah Hukum Acara Perdata (HIR/ RBg) sebagaimana yang diberlakukan pada Pengadilan Negeri, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang Kepailitan.
    Pengadilan Niaga dibentuk bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan kepailitan yang menjadi problematika Indonesia waktu krisis moneter, namun ternyata tidak banyak kasus yang masuk seperti yang telah diprediksikan. Surutnya eksistensi Pengadilan Niaga dapat dibuktikan dengan menurunnya perkara yang masuk pada Pengadilan Niaga.
    Dari segi yuridis, penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga disebabkan oleh ketidakpuasan para pencari keadilan akan kinerja lembaga tersebut. Menurut survei yang dilakukan tim peneliti, kemungkinan terbesar yang menyebabkan turunnya jumlah perkara yang ditangani Pengadilan Niaga adalah ketidakpuasan terhadap hasil putusan dan adanya hasil putusan yang tidak mencerminkan asas keadilan. Kemungkinan terkecil adalah akan dipilihnya Pengadilan Negeri sebagai pengganti Pengadilan Niaga. Kemungkinan yang terakhir ini kecil karena perkara kepailitan dan HaKI merupakan wewenang penuh Pengadilan Niaga. Selain itu masih ada ketidakpercayaan yang cukup besar dari responden terhadap kinerja Pengadilan Negeri.

    Faktor penyebab surutnya eksistensi Pengadilan Niaga antara lain dan cara berpengaruhnya:
    a.       Tidak Puas atas Hasil Putusan
    b.      Hasil Putusan Tidak Mencerminkan asas Keadilan
    c.       Prosedur yang Berbelit-belit
    d.      Kemungkinan dipilih ADR atau Pengadilan Negeri

    Dengan menurunnya perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga akibat faktor-faktor tersebut diatas menunjukkan bahwa eksistensi Pengadilan Niaga di era globalisasi semakin surut.



    DAFTAR PUSTAKA

    Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia. Eksistensi Pengadilan Niaga
    dan Perkembangannya dalam Era Globalisasi. diani@bappenas.go.id. Diakses selasa, 15 Maret 2011, Pukul 22.00 WIB.

    Harjono. 2010. Hukum Acara Peradilan Niaga, Bahan Kuliah Praktis dan
    Minimalis. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

    Jono. 2008. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika

    Sutan Remy Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan. Jakarta: PT Temprint

    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
    Kewajiban Pembayaran Utang



    0

    Tambahkan komentar


  8. A. Kasus Hakim Syarifudin Umar
    Hakim Syarifuddin Umar tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap dalam proses kepailitan perusahaan garmen, PT Skycamping Indonesia (SCI Syarifuddin Umar). Kasus ini memperlihatkan masih lemahnya pengawasan pada hakim. Hal ini menjadi salah satu tumpukan pekerjaan rumah (PR) Mahkamah Agung (MA). "Menurut saya ini terkait dengan isu pengawasan. Yang bersangkutan ini merupakan hakim karir lama, angkatan tua. Jangan-jangan ini ada keliru dalam rekrutmen dulu. Ini menjadi hal-hal yang dibenahi, khususnya oleh MA," ujar peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Hifdzil Alim, dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (3/6/2011). Pengawasan, imbuh Hifdzil, tidak hanya dilakukan saat hakim sudah menjalankan tugasnya, namun juga kala rekrutmen dilakukan. Untuk itu, perlu juga peran dari Komisi Yudisial untuk mengawasi.
    "Pengawasan pada hakim seolah menurun, baik internal maupun eksternal. Saya sungguh mengapresiasi KPK yang telah menangkap tangan. Dan saya berharap pengawasan KPK dimaksimalkan," sambungnya.Hifdzil mengingatkan, tidak semua hakim berlaku sama dengan Syarifuddin. Menurutnya, Syarifuddin hanyalah oknum. Kendati tidak semua hakim berperilaku demikian, namun hal ini juga tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. "Ini menjadi catatan bagi MA untuk memperbaiki kinerja. Kalau dibiarkan akan menimbulkan ketidakpercayaan. Kalau tidak percaya lagi pada institusi hukum kita, maka rakyat akan main hakim sendiri," tambahnya. Jika masyarakat sudah semakin sering main hakim sendiri, maka berita terkait anarkis akan semakin sering didengar. Hal ini tentunya akan merugikan negara."Pengawasan pada hakim, kewajiban pertama ada di MA. Lalu juga menjadi tanggung jawab KY dan juga masyarakat untuk mengawasi," ucap Hifdzil.
    KPK telah resmi menetapkan Syarifuddin dan kurator berinisial PW sebagai tersangka dugaan suap dalam proses kepailitan perusahaan garmen, PT Skycamping Indonesia (SCI). Keduanya dijerat pasal berlapis UU Tipikor. Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, selain menyita uang Rp 250 juta dan mata uang asing, KPK juga menyita ponsel dari tangan Syarifuddin. "Penyidik menemukan 2 barang bukti baru 2 buah ponsel yang didapat di tas S," jelasnya, saat jumpa pers di Gedung KPK, Jl Rasuna Said, Jaksel, Kamis (2/6). (http://www.detiknews.com/read/2011/06/03/181457/1652805/10/kasus-hakim-syarifuddin-salah-satu-tumpukan-pr-ma diakses 6 Juni 2011)
    B. Analisis Kasus Hakim Syarifudin Umar
    Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak sederhana, bukan saja kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan  antara sistem hukum dengan sistem social, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagaisuatu proses, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan variable yang mempunyai korelasi dan interpendensi dengan factor-faktor yang lain. Ada beberapa factor terkait yang menentukan proses penegakan hukm sebagaimana diungkapkan oleh Lawrence M Friedman, yaitu komponen substansi, struktur, dan cultural. Beberapa komponen tersebut termasuk ruang lingkup bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. Kesemua factor tersebut akan sangat menentukan proses penegakan hukum dalam masyarakat dan tidak dapat dinafikan satu dengan yang lainnya. Kegagalan pada salah satu komponen akan berimbas pada factor yang lainnya . Dalam komponen tersebut hakim termasuk komponen “ Structur
    Hakim dimana dan kapan saja  diikat oleh aturan etik disamping aturan hukum. Aturan etik adalah aturan mengenai moral atau atau berkaitan dengan sikap moral. Filsafat etika adalah filsafat tentang moral. Moral menyangkut nilai mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak, pantas dan tidak pantas.
    Sehubungan teori tentang etika, Darji Darmodiharjo dan Sidharta dalam bukunya berjudul Pokok-Pokok Filsafat Hukum menulis:
    “Etika berurusan dengan orthopraxis, yakni tindakan yang benar (right action). Kapan suatu tindakan itu dipandang benar ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai teori (aliran) etika yang secara global bias dibagi menjadi dua, yaitu aliran deontologist (etika kewajiban) dan aliran telelogis (etika tujuan atau manfaat).”
    Di sisi lain, etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika khusus selanjutnya dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Pembedaan etika menjadi etika umum dan etika khusus ini dipopulerkan oleh Magnis Suseno dengan istilah etika deskriptif.
    Lebih lanjut Magnis Suseno menjelaskan bahwa etika umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, seperti tentang pengertian etika, fungsi etika, masalah kebebasan, tanggung jawab, dan peranan suara hati. Di lain pihak, etika khusus menerapkan prinsip-prinsip dasar dari moral itu pada masing-masing bidang kehidupan manusia. Adapun etika khusus yang individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri sedangkan etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia.
    Telah jelas, etika yang berlandaskan pada nilai-nilai moral kehidupan manusia, sangat berbeda dengan hukum yang bertolak dari salah benar, adil atau tidak adil. Hukum merupakan instrumen eksternal sementara moral adalah instrumen internal yang menyangkut sikap pribadi, disiplin pribadi yang oleh karena itu etika disebut juga “disciplinary rules.”
    Sementara itu, dalam ranah etika, kode etik hakim yang dimaksudkan untuk memelihara, menegakkan dan mempertahankan disiplin profesi. Ada beberapa unsur disiplin yang diatur, dipelihara, dan ditegakkan atas dasar kode etik adalah sebagai berikut:
    1.      Menjaga, memelihara agar tidak terjadi tindakan atau kelalaian profesional.
    2.      Menjaga dan memelihara integritas profesi.
    3.      Menjaga dan memelihara disiplin, yang terdiri dari beberapa unsur yaitu:  :
          a.    Taat pada ketentuan atau aturan hukum.
    b.      Konsisten.
    c.       Selalu bertindak sebagai manajer yang baik dalam mengelola perkara, mulai dari pemeriksaan berkas sampai pembacaan putusan.
    d.      Loyalitas.
    Lebih jauh dalam kode etik hakim atau biasa juga disebut dengan Kode Kehormatan Hakim disebutkan, bahwa hakim mempunyai 5 (lima) sifat, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Adapun yang dimaksud dengan dalam kedinasan meliputi sifat hakim dalam persidangan, terhadap sesama rekan, bawahan, atasan, sikap pimpinan terhadap sesama rekan hakim, dan sikap terhadap instansi lain. Di luar kedinasan mencakup sikap hakim sebagai pribadi, dalam rumah tangga, dan dalam masyarakat. Adapun lima perlambang sifat hakim tersebut tercakup di dalam logo hakim sebagai berikut:
    1. Sifat Kartika (bintang) melambangkan ketakwaan hakim pada Tuhan Yang Maha Esa dengan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang beradab.
    2. Sifat Cakra (senjata ampuh penegak keadilan) melambangkan sifat adil, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Dalam kedinasan, hakim bersikap adil, tidak berprasangka atau memihak, bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutuskan berdasarkan keyakinan hati nurani, dan sanggup mempertanggung jawabkan kepada Tuhan. Di luar kedinasan hakim bersifat saling menghargai, tertib dan lugas, berpandangan luas dan mencari saling pengertian.
    3. Candra (bulan) melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan. Dalam kedinasan, hakim harus memiliki kepribadian, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin dan penuh pengabdian pada profesinya. Di luar kedinasan, hakim harus dapat dipercaya, penuh rasa tanggung jawab, menimbulkan rasa hormat, anggun, dan berwibawa.
    4. Sari (bunga yang harum) menggambarkan hakim yang berbudi luhur dan berperilaku tanpa cela. Dalam kedinasannya ia selalu tawakal, sopan, bermotivasi meningkatkan pengabdiannya, ingin maju, dan bertenggang rasa. Di luar kedinasannya, ia selalu berhati-hati, sopan dan susila, menyenangkan dalam pergaulan, bertenggang rasa, dan berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya.
    5. Tirta (air) melukiskan sifat hakim yang penuh kejujuran (bersih), berdiri di atas semua kepentingan, bebas dari pengaruh siapapun, tanpa pamrih, dan tabah. Sedangkan di luar kedinasan, ia tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukannya, tidak berjiwa aji mumpung dan senantiasa waspada.

    Berdasarkan uraian diatas perbuatan hakim Syarifudin Umar yang menerima sejumlah uang sebesar  Rp 250 juta dan mata uang asing dari kurator pada kasus niaga yang dia tangani menunjukan moralitas hakim tersebut sangat buruk dan bertentangan dengan sifat air yang melukiskan sifat hakim yang harus jujur dan bersih dan bertentangan dengan sikap haki, meliputi: berkelakuan baik dan tidak tercela, tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi, tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim.
    KOMISI KEHORMATAN PROFESI HPasal 6
    1. Susunan dan Organisasi Komisi Kehormatan Profesi Hakim terdiri dari :
    a. Komisi Kehormatan Profesi Hakim Tingkat Pusat.
    b. Komisi Kehormatan Profesi Hakim Tingkat Daerah.
    2. Komisi Kehormatan Profesi Hakim Tingkat Pusat terdiri dari 5 (lima) orang dengan susunan :
    Ketua : salah seorang Ketua Pengurus Pusat IKAHI merangkap anggota.
    Anggota : Dua orang anggota IKAHI dari Hakim Agung.
    Anggota : Salah seorang Ketua Pengurus Daerah IKAHI yang bersangkutan.
    Sekretaris : Sekretaris Pengurus Pusat IKAHI merangkap Anggota.
    3. Komisi Kehormatan Profesi Hakim Tingkat Daerah terdiri dari 5 (lima) orang dengan susunan :
    Ketua : Salah seorang Ketua Pengurus Daerah IKAHI merangkap anggota.
    Anggota : Seorang anggota IKAHI Daerah dari Hakim Tinggi.
    Anggota : Ketua Pengurus Cabang IKAHI yang bersangkutan.
    Anggota : Seorang Hakim yang ditunjuk Pengurus Cabang IKAHI yang bersangkutan.
    Sekretaris : Sekretaris Pengurus Daerah IKAHI merangkap Anggota.
    4. Komisi Kehormatan Profesi Hakim Tingkat Pusat diangkat dan diberhentikan oleh PP IKAHI.
    5. Komisi Kehormatan Profesi Hakim Tingkat Daerah diangkat dan diberhentikan oleh PD IKAHI.
    Pasal 7
    1. Komisi kehormatan Hakim Tingkat Daerah berwenang memeriksa dan mengambil tindakan-tindakan
    lain yang menjadi kewenangan terhadap anggota di daerah/wilayahnya.
    2. Komisi Kehormatan Profesi Hakim Tingkat Pusat berwenang memeriksa dan mengambil tindakan- tindakan lain yang menjadi kewenangannya terhadap persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh Daerah atau yang menurut Pengurus Pusat IKAHI harus ditangani oleh Komisi Kehormatan Profesi Hakim Tingkat Pusat.
    Pasal 8
    Tugas dan Wewenang
    1. Komisi Kehormatan Profesi Hakim mempunyai tugas :
    a. Memberikan pembinaan pada anggota untuk selalu menjunjung tinggi Kode Etik.
    b. Meneliti dan memeriksa laporan/pengaduan dari masyarakat atas tingkah laku dari para anggota
    IKAHI.
    c. Memberikan nasehat dan peringatan kepada anggota dalam hal anggota yang bersangkutan
    menunjukkan tanda-tanda pelanggaran Kode Etik.
    2. Komisi Kehormatan Profesi Hakim berwenang :
    a. Memanggil anggota untuk didengar keterangannya sehubungan dengan adanya pengaduan dan
    laporan.

    0

    Tambahkan komentar

Memuat